Datuk Sakai Baginda Fuyan Apresiasi
BeritaTrends, Riau – Meskipun kondisi luas dari volume Tanah Ulayat adat Sakai di Provinsi Riau banyak yang di rampas atau diklaim oleh pihak perusahaan secara sepihak seperti PT.Morini Wood Industry ( MWI ) seluas kurang lebih 7.222 hektar beralih fungsi menjadi Kebun sawit tanpa plasma, serta aksi mafia tanah yang menggarap di atas tanah Ulayat (adat) dibeberapa titik kabupaten tanpa proses yang jelas.
Namun di areal yang telah minim keputusan Prabowo melalui MK tentu membawa kabar baik bagi masyarakat adat sebagai angin segar bagi perubahan tingkat ekonomi masyarakat adat dalam mengelola kembali kawasan hutan .
Keputusan ini disebut telah berpihak kepada masyarakat adat Sakai.
Menyikapi keputusan Presiden Prabowo maka
Datuk Sakai Bathin Botuah Hinduk Botuah Baginda Raja Fuyan yang berdomisili di Duri Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau Minggu (19/10/2025) sangat mengapresiasi kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang membuka peluang ekonomi kepada warga masyarakat adat untuk dapat membuka kebun dalam kawasan hutan tanpa izin.
Namun memang harus digaris bawahi, bahwa dalam putusan perkara nomor 181/PUU-XXII/2024, MK mengatakan bahwa izin itu tidak diperlukan asal pembukaan lahan tersebut bukan untuk tujuan komersial atau meraup keuntungan.
Putusan MK itu merupakan bagian dari dikabulkannya sebagian permohonan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
MK menyebutkan , pada pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
“Sepanjang dikelola dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam kawasan ruang lingkup hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial”, ucap Ketua MK Suhartoyo dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, (13/10.2025).
Antara lain juga Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran UU CK semula mengatur, bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Namun dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Enny Nuraningsih mengatakan, larangan setiap orang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat dikecualikan bagi masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
“Ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran Undang-Undang 6/2023 yang mengatur mengenai larangan untuk melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha dari pemerintah pusat adalah tidak dilarang bagi masyarakat yang hidup secara turun temurun (adat) di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan secara komersial,” papar Enny
Kemudian ia menjelaskan lagi, norma tersebut menjadi norma sekunder yang memiliki keterkaitan dengan Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014.
Dalam putusan nomor 95 itu, MK telah memberikan peluang perlindungan hukum terhadap masyarakat yang hidup di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Dengan demikian, norma yang melarang masyarakat adat melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin usaha tidak dapat diberlakukan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.
Selain itu, putusan MK tahun 2014 itu juga telah menegaskan bahwa kegiatan perkebunan ini hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bukan untuk diperdagangkan dan mendapatkan keuntungan. Dengan kata lain, masyarakat yang hidup turun temurun dalam hutan yang membutuhkan pendapatan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan sehari hari dari sandang, pangan, dan papan tidak dapat dikenakan sanksi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 110B ayat (1) dalam Pasal 37 angka 20 Lampiran UU 6/2023. Sebab, Pasal 110B ayat (1) berisi sanksi administrasi terhadap pelanggaran atas Pasal 17 ayat (2) huruf b dalam Pasal 37 angka 5 Lampiran Undang-Undang 6/2023.
Mahkamah juga menyebut, sepanjang kegiatan perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan Selagi tidak tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, masyarakat tidak perlu memperoleh perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Disebabkan, perizinan berusaha adalah sebuah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha atau kegiatan usaha lainnya.





