Mas Ibin vs Mbak Elim
BeritaTrends, Blitar – Aroma perseteruan politik di Kota Blitar kini tak lagi bisa ditutupi dengan senyum palsu di hadapan publik. Konflik terbuka antara Wali Kota Blitar, H. Syauqul Muhibbin, S.H.I. (Mas Ibin), dan Wakil Wali Kota Blitar, Elim Tyu Samba (Mbak Elim), yang berujung pada ancaman laporan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), ternyata hanyalah puncak gunung es dari keretakan yang sudah mengakar sejak hari pertama mereka dilantik.
Kisah pasangan pemimpin muda ini, yang awalnya digadang-gadang membawa semangat baru Blitar, kini berbalik menjadi drama politik yang mengancam stabilitas birokrasi.
Menurut penelusuran mendalam dan sumber tepercaya di lingkungan Pemerintah Kota Blitar, perselisihan yang terjadi bukan sekadar masalah teknis mutasi jabatan atau komunikasi APBD. Jauh di belakangnya, tersembunyi borok lama yang menjadi racun: persoalan dana dan logistik Pilkada.
“Bukan rahasia lagi, tensi mereka sudah tinggi sejak awal pelantikan. Masalah utama yang dibawa-bawa terus oleh Wali Kota adalah ganjalan saat proses kampanye. Ini luka lama yang tidak pernah sembuh,” ungkap sumber internal Pemkot Blitar, yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Sumber tersebut mengindikasikan bahwa Wali Kota Syauqul Muhibbin yang merupakan figur utama dalam koalisi, dinilai masih memendam ketidakpuasan atau bahkan kecurigaan terkait manajemen dana dan kontribusi selama masa perebutan kursi. Ketegangan finansial di masa lalu ini, secara tidak terduga, dibawa masuk dan diolah menjadi alat pemisah di ruang kekuasaan.
“Ini bukan lagi soal politik murni, tapi dendam yang diselubungi aturan birokrasi. Mas Ibin dinilai sengaja menjaga jarak dan tidak melibatkan Mbak Elim dalam keputusan strategis sebagai balasan atas apa yang terjadi saat kampanye,” tambahnya dengan nada tajam.
Dampak langsung dari ‘luka lama’ ini terlihat nyata dalam penyingkiran Elim Tyu Samba dari lingkaran pengambilan keputusan. Mbak Elim, yang merupakan Wakil Wali Kota perempuan termuda pertama di Blitar, merasa wewenangnya dikebiri dan perannya hanya sebatas pajangan.
Puncaknya terjadi ketika ia absen dalam pelantikan puluhan pejabat Pemkot. Dalam konferensi pers yang terkesan meledak-ledak, Mbak Elim menegaskan, “Bagaimana saya bisa menjalankan fungsi pengawasan jika saya tidak dilibatkan? Saya tidak tahu apa yang saya awasi!”
Mutasi jabatan dan pembahasan APBD—dua instrumen vital dalam pemerintahan daerah—secara sistematis dijauhkan dari meja kerjanya. Ini bukan hanya melanggar etika politik, tetapi berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan koordinasi antara kepala dan wakil kepala daerah.
Ancaman Elim Tyu Samba untuk melaporkan Syauqul Muhibbin ke Kemendagri bukan lagi gertakan, melainkan sinyal kuat bahwa koalisi telah karam. Jika laporan ini ditindaklanjuti dan terbukti ada unsur kesengajaan mengabaikan fungsi wakil kepala daerah, sanksi administratif hingga evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pemerintahan Blitar bisa menjadi konsekuensinya.
Masyarakat Blitar kini menyaksikan sendiri bagaimana energi politik yang seharusnya diarahkan untuk mewujudkan Blitar yang “SAE” (Santun, Amanah, Excellent) justru terkuras habis untuk mengurus konflik internal yang dipicu oleh trauma politik masa lalu. Pemerintahan Kota Blitar berada di ambang ketidakpastian, di mana dua pemimpinnya kini bersiap saling menyerang di panggung nasional.
Ini adalah kabar buruk bagi demokrasi lokal: ketika kepentingan pribadi dan “luka lama” kampanye lebih diutamakan daripada pelayanan publik, maka rakyatlah yang akan menjadi korban utamanya. Kemendagri harus segera turun tangan, sebelum perseteruan ini melumpuhkan seluruh roda birokrasi Kota Blitar.