Menjadi Pahlawan Di Zaman Now (Refleksi Hari Pahlawan Nasional 2025)

Oleh : Gus Imam Al Maghtany (Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan)

BeritaTrends, Magetan – Di tengah hiruk-pikuk zaman yang serba cepat, ketika layar-layar gawai menggantikan percakapan, dan kebenaran kehilangan bentuknya di antara riuh opini, bangsa ini sesungguhnya sedang menatap cermin retak. Kita hidup di era di mana kepahlawanan sering kali direduksi menjadi narasi seremonial, potret hitam putih yang hanya kita lihat setiap tanggal 10 November. Padahal, di balik senyum yang terpahat di wajah-wajah pahlawan itu, ada luka, ada idealisme, ada kesunyian panjang yang mereka bayarkan agar kita hari ini bisa berbicara dengan bebas, belajar dengan aman, dan bermimpi tanpa ancaman. Tetapi, sudahkah kita membayar kembali harga dari kebebasan itu dengan kejujuran, tanggung jawab, dan cinta kepada tanah air?

Tema Hari Pahlawan tahun 2025 — “Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan” — tidak sekadar mengajak kita mengenang, tetapi menegur secara halus namun tajam. Ia seakan berbisik di telinga nurani bangsa: jangan hanya mengingat, tapi terus bergerak. Jangan hanya bangga pada nama-nama besar yang telah gugur, tapi jadilah penerus yang menyalakan kembali bara yang mulai padam. Di balik tema ini, tersembunyi panggilan moral yang mendalam: bahwa perjuangan belum selesai, karena musuh kita hari ini bukan lagi penjajah berseragam, melainkan kebodohan yang disamarkan dengan informasi, kemalasan yang berwajah modernitas, dan korupsi nilai yang menyamar sebagai kebebasan.

Dalam perspektif kebangsaan, kita sedang berada di masa yang penuh paradoks. Di satu sisi, kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata kini telah melahirkan peluang dan kemudahan yang luar biasa. Tetapi di sisi lain, kemerdekaan itu perlahan kehilangan maknanya karena terputus dari akar moral dan spiritual bangsa. Kita menyebut diri bangsa merdeka, namun terpenjara oleh ketergantungan konsumtif. Kita memuja kemajuan teknologi, namun kehilangan arah kemanusiaan. Kita bangga dengan kemerdekaan berbicara, tetapi sering lupa pada etika berucap dan tanggung jawab moral.

Jika dahulu pahlawan berperang dengan senjata dan peluru, maka pahlawan hari ini harus berperang dengan integritas dan kesadaran. Inilah jihād an-nafs (جهاد النفس) — jihad melawan hawa nafsu dan egoisme diri, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ ketika kembali dari medan perang: “Raja‘nā min jihādil aṣghar ilā jihādil akbar” — “Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar,” yakni melawan diri sendiri (HR. Baihaqi). Inilah bentuk perjuangan yang paling relevan dengan zaman sekarang, di mana kekalahan terbesar manusia bukan karena ia dikalahkan oleh musuh di luar dirinya, tetapi karena ia dikalahkan oleh dirinya sendiri.

Baca Juga  Dandim Ponorogo Bacakan Amanat Panglima TNI Pada Upacara HUT Ke- 77 TNI Tahun 2022

Bangsa ini sedang menghadapi gelombang krisis multidimensi: moralitas, kebangsaan, dan solidaritas. Kita menyaksikan bagaimana kejujuran menjadi barang langka, kepedulian sosial kian menipis, dan semangat gotong royong — yang dulu menjadi roh kebangsaan — mulai terkikis oleh budaya individualisme dan kompetisi yang tak sehat. Banyak yang mengaku cinta tanah air, namun tidak peduli ketika tanah airnya rusak oleh korupsi, ketidakadilan, atau perpecahan sosial. Kita mencintai Indonesia di bibir, tetapi belum tentu di perilaku.

Dalam kondisi seperti ini, refleksi kepahlawanan menjadi sangat penting. Karena hanya dengan menengok kembali wajah para pejuang, kita bisa menemukan kembali arah moral bangsa ini. Bung Karno pernah mengingatkan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” Tetapi penghormatan itu tidak cukup hanya dengan upacara atau karangan bunga. Penghormatan sejati adalah meneladani nilai-nilai mereka dalam tindakan konkret. Pahlawan bukan untuk disembah, melainkan untuk dicontoh. Mereka tidak berjuang agar dikenang, tapi agar kita meneruskan perjuangan mereka.

Hari ini, bangsa ini tidak membutuhkan pahlawan baru yang berdarah, tetapi manusia-manusia yang sadar, yang hidup dengan integritas dan cinta. Karena kepahlawanan modern bukan lagi tentang berperang di medan fisik, melainkan di medan nilai. To be a hero today is to remain honest when dishonesty is normalized; to care when apathy is fashionable; to stand firm when the world tells you to compromise. Menjadi pahlawan di era ini berarti menjadi manusia yang tetap memiliki nurani di tengah kebisingan dunia digital, menjadi cahaya kecil yang menolak padam di tengah gelapnya zaman.

Generasi muda — terutama Generasi Z — memegang kunci untuk masa depan bangsa. Mereka lahir di tengah banjir informasi, di era di mana segalanya cepat, mudah, dan cair. Namun di balik semua kemudahan itu, ada tantangan besar: kehilangan arah dan makna hidup. Banyak yang merasa kehilangan pegangan, hidup untuk validasi, bukan kontribusi. Inilah generasi yang harus kita bangunkan, bukan dengan retorika, tetapi dengan teladan. Sebab kepahlawanan tidak bisa diajarkan, ia hanya bisa ditularkan.

Baca Juga  Pemkab Karo Ucapkan Selamat Hari Kartini

Untuk menyalakan kembali semangat kepahlawanan di kalangan generasi Z, kita perlu mengubah cara pandang tentang apa itu “pahlawan”. Pahlawan bukan hanya mereka yang mati di medan perang, tapi juga mereka yang hidup dengan keberanian moral. Seorang guru yang mendidik dengan tulus di pelosok negeri, seorang petani yang tetap jujur meski hidup sederhana, seorang mahasiswa yang berani bersuara demi kebenaran — mereka semua adalah pahlawan yang sejati.

Nilai-nilai ini sejalan dengan prinsip Islam bahwa kebaikan sekecil apa pun memiliki bobot besar di sisi Allah. Dalam firman-Nya: “Fa man ya‘mal mithqāla dzarratin khayran yarah” (QS. Az-Zalzalah: 7) — “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya).” Artinya, kepahlawanan bukan soal skala, tetapi soal keikhlasan dan keberanian untuk berbuat kebaikan.

Untuk itu, kita perlu menciptakan ruang baru bagi semangat kepahlawanan tumbuh: ruang yang menghubungkan antara idealisme dan realitas. Sekolah harus menjadi laboratorium kepahlawanan, bukan sekadar tempat mencari nilai. Media sosial harus menjadi ruang berbagi inspirasi, bukan ajang saling menjatuhkan. Politik harus menjadi panggilan pengabdian, bukan arena perebutan kuasa. Pendidikan harus menanamkan kesadaran bahwa menjadi manusia berarti memberi manfaat bagi yang lain — khayrunnāsi anfa‘uhum lin-nās (خير الناس أنفعهم للناس) — sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain (HR. Ahmad).

Tetapi membangkitkan semangat kepahlawanan bukan tugas pemerintah semata, melainkan tanggung jawab bersama. Kita harus mulai dari diri sendiri, dari lingkungan terdekat, dari kebiasaan kecil yang menanamkan nilai perjuangan. Ketika seorang ayah bekerja dengan jujur, ketika seorang ibu mendidik anak dengan kasih, ketika seorang siswa membantu temannya belajar tanpa pamrih — di situlah jiwa kepahlawanan lahir. Karena hakikat pahlawan bukan pada siapa dia, tetapi pada apa yang dia perjuangkan.

Namun ada tantangan besar yang perlu diakui dengan jujur: bangsa ini sering kali kehilangan teladan. Banyak pemimpin yang pandai bicara tetapi miskin integritas, banyak tokoh publik yang gemar beretorika tetapi gagal menjadi contoh moral. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Buya Hamka, “Teladan lebih baik daripada seribu nasihat.” Generasi muda tidak sedang mencari ceramah, mereka sedang mencari panutan. Jika generasi tua gagal memberi teladan, maka generasi muda akan mencari arah lain — mungkin yang salah, mungkin yang asing.

Maka, hari pahlawan bukan sekadar hari peringatan, tetapi momentum untuk bertanya: Apakah kita masih pantas disebut bangsa yang merdeka jika kita masih tunduk pada ego, korupsi, dan kebohongan? Apakah kita masih menghormati jasa pahlawan jika kita mengkhianati nilai-nilai yang mereka perjuangkan?

Baca Juga  Upacara HUT TNI - AL Yang Ke 77 TH. 2022

Kepahlawanan sejati adalah keberanian untuk melawan kebusukan yang sistemik, sekaligus kejujuran untuk memperbaiki diri sendiri. Ia bukan hanya keberanian di medan perang, tapi keberanian moral untuk berkata benar di tengah kebohongan. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Afdhalul jihād kalimatul ḥaqqi ‘inda sulṭānin jā’ir” — “Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang zalim” (HR. Abu Dawud).

Dan jika kita mau jujur, bangsa ini sesungguhnya tidak kekurangan orang pintar, tetapi kekurangan orang berani dan tulus. Pahlawan masa kini tidak harus berperang, tapi harus berjuang. Tidak harus mati, tapi harus hidup dengan penuh makna.

Kita membutuhkan generasi baru yang tidak takut berbeda, yang mencintai bangsanya dengan cara modern: mencipta, menulis, berinovasi, dan menyuarakan kebenaran. Generasi yang sadar bahwa menjadi pahlawan tidak harus viral, tetapi harus nyata. Karena pahlawan sejati tidak menunggu waktu untuk dikenang; mereka bergerak dalam diam, menyalakan perubahan dari hal-hal kecil, dari hati yang bersih, dari tekad yang ikhlas.

Dan di sanalah makna terdalam Hari Pahlawan 2025 — Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan. Bahwa setiap kita adalah penerus dari perjuangan panjang yang belum selesai. Bahwa setiap langkah jujur, setiap kerja keras, setiap tindakan berani, adalah bagian dari mozaik besar bernama Indonesia.

Mari kita jadikan hari ini bukan sekadar peringatan, tapi kebangkitan. Bangkit dari apatisme menuju kepedulian, dari pesimisme menuju harapan, dari nostalgia menuju tindakan. Karena bangsa yang besar bukan hanya yang memiliki sejarah gemilang, tetapi yang terus menulis sejarah baru dengan keberanian.

Semoga api yang dulu dinyalakan oleh para pahlawan tidak padam di tangan kita. Semoga semangat mereka hidup di dalam hati setiap anak muda yang berani bermimpi untuk bangsanya. Dan semoga kelak, ketika sejarah menatap kembali ke masa ini, ia akan berkata:
Mereka bukan hanya mengenang para pahlawan — mereka telah menjadi pahlawan itu sendiri.

Dirgahayu Hari Pahlawan Nasional 2025.
Let the spirit of heroism live again — not in monuments, but in our conscience.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *