GUS IMAM AL MAGHTANY (Penggiat Thariqah Syattariyah dari Bumi Mageti)
BeritaTrends, Magetan – Enam puluh delapan tahun sudah Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah (JATMAN) menapaki jalan panjang pengabdian ruhani — jalan para pewaris Nabi yang menuntun umat menuju keseimbangan batin, kedamaian sosial, dan keutuhan bangsa. Tema milad kali ini, “Pengamalan Thariqat sebagai Jalan Spiritual Warisan Nabi Muhammad SAW untuk Keharmonisan Sosial,” bukan sekadar seremonial, tetapi seruan suci bagi seluruh ikhwan thariqah untuk kembali menziarahi jantung maknanya: bahwa thariqat bukan milik para salik yang bersembunyi dari hiruk-pikuk dunia, melainkan cahaya yang menuntun manusia menata hati, membangun masyarakat, dan menghidupkan cinta di tengah zaman yang mulai kehilangan nur.
Namun, di balik kematangan usia itu, JATMAN kini berada di simpang jalan sejarahnya. Getar konflik, silang pandang, dan kegelisahan kepemimpinan yang sempat mengusik keheningan jamaah bukan sekadar ujian organisasi — ia adalah ujian ruhani dari Allah, untuk menakar kadar cinta dan keikhlasan para pewaris thariqat. Sebab sebagaimana dikatakan al-Imam al-Ghazali, “Man lam yudabbir nafsahu lam yudabbir ummatahu” (Barang siapa tak mampu menata dirinya, ia takkan mampu menata umatnya). Maka, penataan batin adalah awal dari setiap rekonsiliasi; dan kelembutan jiwa, adalah obat bagi segala perpecahan. Riak-riak yang sempat menodai beningnya jamaah ini harus disambut dengan dzikir, bukan amarah; dengan musyawarah, bukan saling menuding; dengan kesabaran, bukan kekuasaan. Karena thariqat sejati tidak mengajarkan perebutan tahta, melainkan penyerahan diri. JATMAN harus kembali berdiri di atas maqam keikhlasan — tegak bukan karena kuatnya struktur, tetapi karena kokohnya ruh.
Ada tiga kunci utama yang menjadi fondasi thariqat: amaliyah, ‘ilmiyyah, dan sanad. Amaliyah adalah napas yang menghidupkan dzikir, awrād, khalwat, muraqabah, hingga fanā’ fillāh dan baqā’ billāh; ia adalah perjalanan menuju kesadaran Ilahi yang menuntun seorang salik dari kegelapan ego menuju cahaya Tuhan. ‘Ilmiyyah menegaskan bahwa setiap pengamal thariqat wajib berdiri di atas syari‘at, karena tanpa ilmu, perjalanan ruhani hanya menjadi ilusi tanpa arah. Dan sanad adalah tali emas yang menghubungkan murid dengan mursyid, hingga bersambung muttashil kepada Rasulullah SAW — warisan yang menjaga kemurnian jalan menuju Allah. Maka, ketika badai perbedaan mengguncang, tiga fondasi ini harus menjadi jangkar: ilmu yang menuntun akal, amal yang menenangkan hati, dan sanad yang meneguhkan arah.
Dalam usia yang matang ini, JATMAN harus bangkit dengan wajah baru: wajah yang lembut, arif, dan dewasa. Kepemimpinan bukan lagi soal siapa yang berhak duduk, tetapi siapa yang paling mampu sujud. Otoritas bukan lagi diukur dari jabatan, melainkan dari ketulusan. Kini saatnya para pengurus menanggalkan ambisi duniawi dan mengembalikan arah khidmah kepada tujuan hakiki: li i‘lai kalimatillāh — meninggikan kalimat Allah di atas segala urusan. Jalan rekonsiliasi harus dijahit dengan benang mahabbah, bukan kepentingan; dibasuh dengan air mata keinsafan, bukan dendam. Sebab organisasi ruhani tidak akan hancur karena perbedaan, tetapi karena hilangnya cinta.
JATMAN bukan sekadar organisasi, melainkan barisan ruhani yang memikul amanah besar: menjaga kesinambungan jalan para awliya, menyinari umat dengan kasih, serta menanamkan kesadaran bahwa dzikir bukan hanya gerak lisan, tetapi napas kehidupan yang menumbuhkan harmoni sosial. Setiap majelis dzikir adalah taman jiwa, tempat manusia menundukkan ego, membersihkan hati, dan menemukan jati dirinya sebagai hamba. Dalam taman itu, tidak ada perbedaan antara pemimpin dan jamaah, antara tua dan muda — semuanya larut dalam satu nafas: Lā ilāha illā Allāh. Di situlah ruh jamaah terajut, di situlah persaudaraan suci bersemi.
Maka tugas JATMAN hari ini bukan hanya mengajarkan dzikir, tetapi menghadirkan dzikir di tengah dunia. Masyarakat harus disentuh dengan kelembutan spiritual, bukan dengan kekakuan dogma. Thariqat harus dihidupkan di ladang kerja, di ruang pengabdian, di ranah pelayanan, dan dalam cinta kepada sesama. Sebab hakikat thariqat bukan pelarian dari dunia, tetapi penataan dunia dengan cahaya ma‘rifat. Di sinilah keseimbangan antara al-‘ubūdiyyah (penghambaan) dan al-khilāfah (kepemimpinan) menemukan maknanya: ketika sujud di mihrab menjelma menjadi kasih di tengah masyarakat.
Para sufi mengajarkan bahwa syari‘at, thariqat, hakikat, dan ma‘rifat adalah empat pilar menuju kesempurnaan insan kamil. Syari‘at adalah kapal yang membawa manusia di lautan amal; thariqat adalah samudera luas tempat ruh menyelam mencari rahasia Ilahi; hakikat adalah mutiara yang bersinar di dasar kesunyian; dan ma‘rifat adalah cahaya yang memancar dari kedalaman qalbu, ketika seorang salik tidak lagi melihat selain Allah di balik segala sesuatu. Al-Junaid al-Baghdadi berkata, “At-thariqatu kulluhā adabun — fa man zadā ‘alayka fil adab, zadā ‘alayka fil haqq” (Jalan thariqat itu seluruhnya adalah adab — maka siapa yang lebih beradab darimu, lebih dekatlah ia kepada al-Haqq). Dan adab tertinggi adalah ketika engkau berdiri di hadapan Allah tanpa “aku”, tanpa “milikku”, tanpa “kehendakku”. Di sanalah ma‘rifat bersemayam — ketika hati menjadi cermin, dan yang tampak di dalamnya hanyalah wajah-Nya yang Maha Indah.
“Al-ma‘rifatu nūrun yaqdhifuAllāhu fīl qalb” — Ma‘rifat adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati. Maka barang siapa hatinya telah diterangi oleh cahaya itu, ia tidak lagi berjalan dengan pandangan mata, melainkan dengan pandangan ruh. Ia melihat Allah dalam setiap makhluk, mendengar Allah dalam setiap suara, dan merasakan Allah dalam setiap hembusan nafas. Semoga milad ke-68 ini menjadi momentum sujud bersama — mengakui kelemahan, memohon ampun, dan memulai kembali perjalanan menuju satu cita: ittihadul qulub fi ridlillāh — persatuan hati dalam keridhaan Allah. Dari sinilah langkah JATMAN harus dimulai kembali: dengan air mata yang jernih, dengan hati yang bersih, dan dengan cinta yang tak lagi memisahkan, tetapi menyatukan seluruh jiwa yang berjalan di jalan Allah.