Refleksi Sumpah Pemuda
BeritaTrends, Blitar – Suasana malam di Kedai Kopi Selasar, Pasar Legi, Senin (27/10) itu semula terasa hangat dan akrab. Gelas-gelas kopi mengepulkan aroma solidaritas, ketika sejumlah tokoh aktivis, akademisi, dan insan media duduk melingkar dalam acara Refleksi Sumpah Pemuda. Tak ada mimbar resmi, tak ada protokol. Hanya obrolan ngalor-ngidul tentang semangat persatuan yang pernah menyatukan bangsa ini.
Sebagai pemantik, hadir aktivis antikorupsi Moh. Trijanto, akademisi sekaligus aktivis senior Walid dari UGM Yogyakarta, dengan moderator dosen dan aktivis perempuan Henni Indarriyanti. Hadir pula sejumlah tokoh daerah: Ketua LSM GPI Jaka Prasetya, Ketua PPI Kabupaten Blitar Mujianto, Ketua KPU Kota Blitar Rangga Bisma, Ketua IJTI Korda Blitar Raya Robby Ridwan, dan Ketua SMSI Blitar Raya Prawoto Sadewo.
Awalnya, diskusi mengalir ringan menelusuri kembali semangat tiga ikrar Sumpah Pemuda: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Namun suasana berubah begitu Wali Kota Blitar, Shahibul Muhibbin, muncul di tengah forum. Tak lama berselang, Wakil Wali Kota Blitar, Elim Tyu Samba, menyusul hadir.
Dua sosok pemimpin Kota Blitar yang belakangan ramai diperbincangkan karena hubungan kerja yang disebut “tidak harmonis” itu, untuk sesaat duduk satu meja. Udara di ruangan seketika menghangat bukan karena kopi, melainkan karena tensi diskusi yang mulai naik.
Sekitar 40 menit, Wali Kota Muhibbin memaparkan makna Sumpah Pemuda sebagai fondasi kebersamaan dan semangat membangun. Namun giliran para aktivis berbicara, arah pembicaraan mulai tajam.
Aktivis Moh. Trijanto menyinggung soal kebijakan Pemkot yang dinilai tidak berpihak pada rakyat.
“Kegaduhan dan kondusifitas wilayah akibat sebuah kebijakan, ya Wali Kota Blitar yang harus bertanggung jawab,” tegasnya.
Suasana pun makin panas. Ketua SMSI Blitar Raya Prawoto Sadewo menyampaikan pandangannya dengan gaya khas, blak-blakan.
“Kalau Kota Blitar ingin kondusif, Mas Ibin jangan mengkotak-kotakkan media. Ada istilah media Pemkot, media istana, dan lainnya. Itu memicu gesekan di lapangan,” ujarnya disambut anggukan peserta.
Dengan gaya ceplas-ceplos, Prawoto melanjutkan,
“Kalau Blitar mau damai, ada lima kiat untuk menyelesaikan perpecahan antara Wawali dan Mas Ibin. Tapi yang tiga, harganya mahal,” ujarnya sambil tertawa bercanda, memecah ketegangan.
Ia menambahkan, “Kalau jadi wali kota itu berat, lepaskan ego politik sektoral. Sekarang saatnya merangkul semua warga. Jadilah bapaknya wong Blitar.”
Giliran Elim Tyu Samba berbicara, suasana kembali tenang. Dengan nada kalem, ia menegaskan tak ada masalah pribadi antara dirinya dan wali kota.
“Style kepemimpinan itu berbeda-beda, dan saya bisa memahami gaya Mas Ibin. Tapi pengawasan terhadap program itu kewajiban. Seorang pemimpin perlu konsistensi antara ucapan dan tindakan,” ucap Elim memberi sindiran halus.
Refleksi malam itu akhirnya benar-benar menjadi cermin: bahwa semangat Sumpah Pemuda bukan sekadar slogan, tapi ujian nyata bagi para pemimpin apakah masih sanggup menanggalkan ego dan meneguhkan kebersamaan demi satu tujuan, Blitar yang bersatu dan maju.





