Beritatrends, Magetan – Pengesahan UU perpajakan yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR periode 2019–2024 telah memicu kekhawatiran terhadap nasib petani, nelayan, dan peternak, yang semakin terhimpit di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Riyono, anggota Komisi IV DPR RI, menilai kebijakan ini akan membebani rakyat kecil, terutama mereka yang hidup di desa dan pesisir.
“Pengesahan kenaikan PPN 11% di tahun 2022 dan 12% di tahun 2025 akan memicu kenaikan harga dan tentu rakyat kecil, petani, nelayan, peternak akan menjadi paling terdepan kena dampaknya,” ujar Riyono.
Selain kenaikan PPN, nelayan kecil juga dikenakan pajak tambahan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang PNBP sektor kelautan dan perikanan, yang menyasar nelayan dengan kapal 5 GT ke bawah dan memungut 5% dari hasil tangkapan mereka. “Sebagai rakyat biasa, nelayan akan kena PPN 11% jika berbelanja dan 5% dari hasil tangkapan mereka,” terang Riyono.
Total pajak yang dikenakan mencapai 16%, yang akan semakin menyulitkan nelayan dan petani bangkit dari dampak pandemi.
Di sisi lain, sektor peternakan juga tak luput dari dampak ini. Riyono menambahkan, kenaikan PPN 11% akan membuat harga pakan ternak naik hingga 5%, yang berdampak langsung pada biaya produksi para peternak.
“Kenaikan pungutan pajak ini bertentangan dengan spirit ekonomi Pancasila yang bercorak kerakyatan dan keadilan. Harusnya pemerintah memberikan insentif bagi petani, nelayan, dan peternak agar usaha mereka maju. Ini justru disinsentif yang bisa membuat mereka tambah miskin, kenaikan pajak membuat daya beli semakin turun dan mengancam pertumbuhan ekonomi nasional,” tegas dewan asal Magetan itu.
Data BPS juga memperkuat kekhawatiran ini. Pada 2020, angka kemiskinan di perdesaan meningkat menjadi 13,20% dari 12,60% pada 2019, sementara angka kemiskinan di perkotaan hanya 7,88%. Nelayan miskin juga tercatat berada pada kisaran 20–40%.
“Negara membuat miskin rakyatnya dengan menaikan pajak, petani, nelayan, dan peternak akan semakin susah. Kenaikan orang miskin 13,20% harusnya menyadarkan pemerintah bahwa kebijakannya salah. Kenapa terus dilakukan? Bukan menambah sejahtera, justru menambah miskin rakyatnya,” tutup Riyono.
Kebijakan ini semakin menjadi sorotan karena diyakini memperburuk kondisi ekonomi masyarakat kecil yang sedang berjuang untuk bangkit setelah pandemi.