Oleh : Gus Imam (Anggota Majelis Permusyawaratan Umat Islam Indonesia)
Beritatrends, Magetan – Di tengah dinamika sosial-politik yang terus berubah, bangsa ini kembali dihadapkan pada kebutuhan fundamental: kepemimpinan yang berakar pada moralitas, keilmuan, dan spiritualitas. Indonesia, dengan komposisi masyarakat yang majemuk, membutuhkan figur-figur kepemimpinan yang mampu menjembatani aspirasi umat dan visi kebangsaan. Dalam konteks ini, ulama memiliki posisi yang strategis dan tak tergantikan. Kepemimpinan ulama di daerah bukan sekadar peran simbolis, tetapi merupakan pilar utama untuk mewujudkan Indonesia sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur—sebuah negeri yang damai, makmur, dan diridai Allah SWT.
Di era globalisasi yang serba cepat dan sering kali dangkal secara nilai, peran ulama menjadi semakin signifikan. Ulama bukan hanya penyampai risalah agama, tetapi juga agen perubahan sosial (social engineering) yang mampu membangun tatanan masyarakat berbasis keadilan, kesetaraan, dan ketaatan kepada Tuhan. Melalui ilmu, keteladanan, dan keberpihakan pada umat, ulama memiliki kapasitas untuk memimpin gerakan transformasi di tingkat lokal yang dapat berdampak secara nasional.
Namun, tantangan yang dihadapi oleh ulama dalam konteks kepemimpinan di daerah tidaklah sederhana. Perubahan pola sosial akibat urbanisasi, infiltrasi budaya asing melalui teknologi digital, hingga minimnya perhatian pada pendidikan keislaman di akar rumput menjadi hambatan yang menguji keberlanjutan peran mereka. Selain itu, komodifikasi agama yang dilakukan oleh segelintir elite telah menciptakan polarisasi umat, menjadikan ulama lebih sering terjebak dalam politik sektarian daripada menjadi penjaga moral bangsa.
Untuk menghadapi ini, ulama perlu merekonstruksi peran mereka dengan pendekatan yang lebih relevan terhadap zaman. Dalam istilah teknologi, ulama harus menjadi “server” yang menjaga stabilitas moral masyarakat sekaligus “router” yang menghubungkan umat dengan nilai-nilai universal Islam. Kepemimpinan ulama harus mencakup tiga aspek utama: pembinaan spiritual, pemberdayaan ekonomi, dan penguatan pendidikan berbasis nilai. Ketiganya harus dijalankan secara bersamaan untuk menciptakan masyarakat yang tidak hanya beriman, tetapi juga mandiri dan progresif.
Di bidang spiritual, ulama harus menjadi mercusuar yang menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Pendekatan dakwah yang kreatif, berbasis teknologi, dan menjangkau generasi muda adalah kebutuhan mendesak. Ulama tidak lagi cukup berdakwah di mimbar, tetapi harus hadir di platform digital untuk melawan narasi destruktif yang merusak akhlak generasi muda.
Pemberdayaan ekonomi juga harus menjadi prioritas dalam kepemimpinan ulama di daerah. Dengan memanfaatkan instrumen syariah seperti zakat, infak, dan wakaf secara produktif, ulama dapat menciptakan ekosistem ekonomi lokal yang berkeadilan. Model koperasi berbasis syariah atau micro-financing dapat menjadi alat pemberdayaan yang efektif untuk mengurangi kesenjangan ekonomi di masyarakat pedesaan. Ulama tidak hanya membimbing umat secara spiritual tetapi juga memberdayakan mereka untuk menjadi pelaku ekonomi yang kompetitif.
Pendidikan berbasis nilai adalah fondasi utama yang harus dikuatkan. Ulama harus menjadi motor penggerak reformasi pendidikan, terutama di daerah-daerah yang masih terpinggirkan. Sistem pendidikan yang mengintegrasikan ilmu agama dengan sains dan teknologi harus diperjuangkan agar generasi muda tidak hanya memahami Islam secara tekstual tetapi juga aplikatif dalam kehidupan modern. Ulama yang memimpin daerah harus berani menjadi inovator pendidikan, menciptakan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan zaman tanpa kehilangan esensi nilai-nilai Islam.
Dalam kerangka kebangsaan, kepemimpinan ulama di daerah juga menjadi kunci dalam merajut persatuan. Indonesia adalah negara yang dibangun di atas semangat keberagaman, dan ulama memiliki peran strategis untuk menjaga harmoni ini. Dengan pendekatan moderasi Islam (wasathiyyah), ulama dapat menjadi perekat yang menghubungkan berbagai elemen masyarakat, dari suku, agama, hingga ideologi. Moderasi bukan berarti kompromi terhadap prinsip, tetapi keberanian untuk berdiri di tengah dan merangkul semua pihak dalam kerangka kebenaran.
Upaya ini membutuhkan dukungan sistemik, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah perlu melihat ulama bukan hanya sebagai pemuka agama, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam pembangunan daerah. Kolaborasi yang sinergis antara pemerintah daerah, ulama, dan masyarakat adalah jalan menuju Indonesia yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Momentum ini harus dimanfaatkan untuk merefleksikan kembali cita-cita besar bangsa. Jika ingin melihat Indonesia menjadi negeri yang diridai Allah, maka ulama harus diberdayakan sebagai pemimpin sejati. Ulama yang mendidik umat dengan ilmu, memimpin dengan akhlak, dan memberdayakan dengan kebijakan adalah ulama yang akan membawa bangsa ini menuju puncak kejayaan.
Kepemimpinan ulama di daerah bukan sekadar tuntutan zaman, tetapi juga amanah sejarah. Mereka adalah pewaris para nabi, penjaga moralitas bangsa, dan pilar keadilan sosial. Dengan memberdayakan ulama, kita tidak hanya membangun daerah, tetapi juga menanam benih masa depan yang cerah untuk Indonesia. Inilah jalan menuju negeri yang diberkahi, negeri yang damai, makmur, dan penuh rahmat Ilahi.