Beritatrends,Blitar – Badai keluhan masyarakat Blitar Raya terhadap layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tak kunjung reda. Alih-alih mendapatkan jaminan kesehatan yang layak, warga justru merasa diperlakukan sebagai sumber iuran belaka, dengan pelayanan yang rumit dan diskriminatif di fasilitas kesehatan. Ironisnya, di tengah jeritan pasien dan keluarga yang berjuang antara hidup dan mati, pimpinan BPJS Kesehatan memilih berlindung di balik tembok birokrasi yang dingin.
Keluhan yang bergulir dari Blitar Raya bukan sekadar bisik-bisik, melainkan pekik kemarahan massal. Persaudaraan Kepala Desa Indonesia (PKDI) Kabupaten Blitar bahkan dengan tegas pernah menyerukan agar BPJS Kesehatan dibubarkan, sebab dinilai regulasinya kacau dan pelayanannya buruk.
Pemandangan miris yang berulang adalah penolakan dan pengusiran halus terhadap pasien BPJS di rumah sakit, bahkan dalam kondisi gawat darurat. Pasien harus pontang-panting, dipaksa melalui prosedur rujukan berbelit dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti Puskesmas—seolah nyawa bisa ditangguhkan demi selembar surat. Ada kisah tragis di mana pasien ditolak berobat, terus dipindahkan dari satu faskes ke faskes lain, dan akhirnya meregang nyawa tanpa mendapatkan perawatan yang memadai.
Masyarakat Blitar dipaksa menjadi peserta, diwajibkan bayar iuran rutin, tetapi ketika sakit dan membutuhkan layanan, justru ditolak atau dipersulit. Prosedur dibuat ruwet, terutama saat kondisi gawat darurat. Jaminan kesehatan yang digadang-gadang negara ini telah berubah menjadi penyiksaan birokratis.
Menanggapi gelombang protes ini, Kepala BPJS Kesehatan Kantor Cabang Kediri, Tutus Novita Dewi, tampil ke publik, namun dengan sikap yang jauh dari empati. Jawaban yang keluar dari mulut pimpinan ini bukan solusi, melainkan pernyataan normatif yang menusuk, mengarahkan masyarakat untuk mengikuti saja prosedurnya dan membayar angsurannya
Pernyataan ini seolah menegaskan watak ganda BPJS Kesehatan: agresif saat menagih, pasif saat melayani.
Ketika masyarakat telat membayar iuran, seketika status kepesertaan langsung dinonaktifkan tanpa ampun, layanan medis langsung terputus—persis gaya kerja “Debt Collector” yang mengejar tunggakan dengan ancaman.
Namun, ketika masyarakat mengeluh soal pelayanan buruk, jawaban yang diberikan hanya sebatas formalitas kaku tentang prosedur dan kewajiban bayar.
“BPJS Kesehatan telah bermetamorfosis menjadi mesin penagih iuran dengan jubah kesehatan. Mereka cekatan memutus layanan saat iuran telat, tetapi lambat dan berbelit saat harus memberikan layanan prima. Jelas ini menunjukkan BPJS Kesehatan telah gagal total dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai penjamin kesehatan rakyat,” sindir seorang tokoh masyarakat Blitar Raya.
Fenomena di Blitar Raya adalah cerminan ironi nasional: Rakyat disuruh patuh membayar, sementara hak mereka diabaikan. BPJS Kesehatan telah merusak kontrak sosial yang harusnya menjamin perlindungan kesehatan bagi seluruh rakyat. Pimpinan BPJS Kesehatan di Kediri telah memberikan pesan yang sangat berbahaya: Kewajibanmu (bayar) adalah mutlak, hakmu (layanan) adalah opsional.
Tutus Novita Dewi dan jajaran BPJS Kesehatan di Kediri wajib menghentikan lip service normatif dan segera turun ke lapangan, menanggapi serius setiap rintihan pasien di Blitar Raya, sebelum kemarahan masyarakat meledak menjadi tuntutan pembubaran yang lebih masif.





