Oleh : Gus Imam (Pengasuh Ponpes Raden Patah Magetan)
Beritatrends – Di tengah hiruk-pikuk modernitas yang menggempur dari segala arah, pendidikan Islam di Indonesia berdiri di persimpangan sejarah. Ia bukan hanya tentang ruang-ruang kelas di pesantren atau madrasah, melainkan sebuah upaya suci untuk menghidupkan nilai-nilai abadi dalam dunia yang terus berubah. Namun, seperti halnya akar yang mencoba menembus batu, pendidikan Islam menghadapi tantangan yang menguji ketangguhannya.
Kesenjangan yang Menjauhkan
Ada sebuah ironi yang mengakar. Madrasah, sebagai penjaga nilai-nilai luhur, sering kali dianggap sebagai pilihan kedua. Di mata banyak orang, ia adalah pelabuhan terakhir bagi mereka yang gagal berlabuh di sekolah-sekolah umum yang megah. Namun, di balik dinding-dindingnya yang sederhana, tersembunyi perjuangan tanpa henti untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kesenjangan kualitas pendidikan, yang tampak jelas antara madrasah dan sekolah umum, adalah luka yang belum sembuh.
Bagaimana bisa kita bicara tentang kemajuan jika fasilitas dasar seperti perpustakaan atau laboratorium masih menjadi barang mewah di banyak madrasah? Bagaimana guru dapat melahirkan generasi emas jika kesejahteraan mereka jauh dari kata layak?
Paradigma yang Belum Seimbang
Pendidikan Islam juga terjebak dalam ketidakseimbangan kurikulum. Terlalu lama, kurikulum agama dan ilmu pengetahuan umum berjalan seperti dua aliran sungai yang tidak pernah bertemu. Siswa-siswa kita tumbuh dengan pemahaman agama yang mendalam, namun sering kali gagap menghadapi dunia modern yang menuntut kecakapan teknologi dan sains.
Ki Hadjar Dewantara pernah berkata bahwa pendidikan sejati adalah yang membebaskan, bukan yang membelenggu. Namun, apakah kita telah benar-benar membebaskan anak-anak kita? Ataukah kita malah menjebak mereka dalam lingkaran stigma dan keterbatasan?
Teknologi: Pedang Bermata Dua
Globalisasi dan teknologi adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan peluang tak terbatas untuk belajar. Di sisi lain, ia juga mengancam untuk mengikis nilai-nilai yang telah lama kita jaga. Banyak lembaga pendidikan Islam yang masih tertatih-tatih dalam memanfaatkan teknologi. Digitalisasi sering kali terlihat seperti gelombang besar yang sulit dijinakkan, sementara dunia terus berlari meninggalkan mereka.
Membongkar Tembok Persekolahan
Dalam kegelapan ini, ada cahaya yang menuntun. Konsep-konsep seperti Self Organized Learning Environment (SOLE) dan Deschooling Society menawarkan visi baru untuk pendidikan. Sugata Mitra dan Ivan Illich, dengan caranya masing-masing, mengingatkan kita bahwa belajar adalah proses yang organik, bukan sesuatu yang bisa dikurung dalam tembok persekolahan. Pesantren, yang sering dipandang sebelah mata, justru dapat menjadi model institusi belajar yang lebih autentik dan manusiawi.
Menyulam Masa Depan
Untuk menjawab tantangan ini, kita membutuhkan keberanian untuk bermimpi besar dan langkah nyata untuk merealisasikannya. Peningkatan kualitas guru adalah langkah awal yang tak bisa ditawar. Guru bukan hanya penyampai materi, tetapi juga pelita yang menuntun generasi muda dalam gelapnya zaman.
Di sisi lain, reformasi kurikulum harus dilakukan dengan hati-hati. Kita membutuhkan kurikulum yang tidak hanya mengintegrasikan ilmu agama dan pengetahuan umum, tetapi juga mampu membangun karakter yang tangguh, kreatif, dan adaptif.
Pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan harus bersatu dalam visi yang sama. Pendidikan Islam harus kembali menjadi ruang yang tidak hanya mengajarkan, tetapi juga menghidupkan. Sebuah ruang di mana nilai-nilai universal bertemu dengan kecanggihan modernitas, melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana dalam moral.
Kesimpulan: Sebuah Harapan Baru
Di tengah segala keterbatasan, pendidikan Islam tetap memiliki potensi besar. Seperti akar yang terus mencari jalan di bawah tanah, ia memiliki kekuatan untuk menembus segala rintangan. Dengan kebijakan yang bijak, dukungan yang tulus, dan tekad yang kuat, kita bisa menjadikan pendidikan Islam sebagai pilar utama dalam membangun peradaban yang saleh dan berdaya saing tinggi.
Marilah kita jadikan pendidikan Islam sebagai ladang yang subur, tempat di mana tunas-tunas harapan tumbuh menjadi pohon-pohon yang kokoh, menaungi masa depan yang lebih cerah.