Pancasila dan Tantangan Zaman : Refleksi Hari Kesaktian 1 Oktober 2025

Oleh KH. MUHAMMAD IMAAMUL MUSLIMIN, S.Pd. MM (Pengasuh PP Raden Patah Magetan)

BeritaTrends  Magetan – Bangsa Indonesia tidak pernah lahir di ruang kosong. Ia lahir dari tempaan sejarah, darah, dan air mata yang tak pernah kering. Tragedi 30 September 1965 adalah salah satu luka paling kelam yang pernah menggores tubuh negeri ini. Gerakan 30 September yang dipimpin PKI telah merenggut nyawa tujuh perwira terbaik bangsa. Itu bukan hanya pemberontakan militer, melainkan pengkhianatan ideologi yang hendak menyingkirkan agama, meruntuhkan peran ulama, dan merobohkan persatuan nasional.

Namun Pancasila tetap tegak. Kesaktiannya lahir bukan dari teks semata, melainkan dari iman rakyat, doa para ulama, dan keberanian umat Islam yang menjadi benteng moral bangsa. KH. Hasyim Asy’ari jauh sebelum itu telah berpesan, “Hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Semboyan ini menjelma sebagai roh perlawanan, yang meneguhkan keyakinan bahwa menjaga tanah air adalah bagian dari menjaga iman.

Hari ini, enam dekade setelah tragedi itu, kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2025. Namun refleksi ini tidak boleh jatuh sekadar ritual seremonial. Justru saat ini, peringatan tersebut terasa lebih mendesak dari sebelumnya, sebab bayang-bayang ancaman kembali hadir. Neo-PKI, kelompok kiri, dan ideologi Marxisme-Leninisme kembali mencoba bangkit dengan wajah baru. Mereka tidak lagi datang membawa senjata, melainkan masuk melalui narasi akademik, media sosial, hingga film-film yang coba memutarbalikkan sejarah. Mereka tampil seolah membawa misi keadilan sosial, padahal sejarah telah mencatat luka, darah, dan kehancuran yang ditinggalkan ideologi itu.

Survei LSI tahun 2023 mencatat, sekitar 12,5 persen anak muda Indonesia tidak mengetahui peristiwa G30S/PKI, bahkan 5,7 persen menganggap komunisme bukan ancaman. Data ini adalah alarm keras: memori sejarah mulai kabur, dan ruang kosong itu bisa dengan mudah diisi oleh ideologi baru yang menolak agama. Lebih berbahaya lagi, berkembangnya sekularisme ekstrem di ruang publik dan pemerintahan menjadikan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, sekadar formalitas. Agama dipaksa hanya hadir di ruang privat, sementara kebijakan negara diarahkan pada kalkulasi politik dan ekonomi semata. Ulama dan pesantren bahkan sering digambarkan sebagai penghambat modernitas, padahal sesungguhnya mereka adalah benteng moral bangsa.

Baca Juga  Dump Truk Over Dimensi Disebabkan Carut Marut Pengelolaan Tambang di Magetan

Strategi pecah belah terus dimainkan. Partai-partai Islam diadu, ormas-ormas Islam dipolarisasi, sehingga umat tercerai berai. Di sisi lain, kelompok anti-agama semakin vokal, dengan agenda jelas: melemahkan benteng moral bangsa. Padahal Allah telah memperingatkan, “Wa’tashimuu bihablillahi jami’an wa laa tafarraquu” (berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai) [QS. Ali Imran: 103].

Ancaman juga datang dari luar negeri. Globalisasi membuka pintu kolonialisme gaya baru, atau neo-colonialism. Partai Komunis Tiongkok dengan kekuatan ekonominya menancapkan pengaruh dalam setiap lini. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, pada 2024 investasi China di Indonesia mencapai 7,4 miliar dolar AS, menempatkannya di posisi kedua setelah Singapura. Namun investasi besar itu tidak selalu memberi manfaat langsung kepada rakyat. Ribuan tenaga kerja asing asal China masuk melalui proyek-proyek strategis, sementara anak bangsa sendiri masih banyak yang menganggur. Data BPS tahun 2024 mencatat jumlah pengangguran terbuka mencapai 7,2 juta jiwa, dan ironisnya lapangan kerja strategis justru didominasi oleh pekerja asing.

Di sisi lain, taipan dan korporasi asing semakin menguasai sendi-sendi perekonomian nasional. Tanah rakyat dijual, sumber daya alam dikeruk, dan keuntungan dibawa ke luar negeri. Inilah wajah baru kolonialisme: bukan lagi tentara bersenjata yang menduduki negeri, melainkan kapital asing yang mengendalikan hajat hidup rakyat. Megaproyek infrastruktur seperti jalan tol, bendungan, kereta cepat, hingga pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sering digadang-gadang sebagai simbol kemajuan. Tetapi kenyataannya, banyak dari proyek-proyek tersebut justru menambah beban bangsa. Utang negara kian menumpuk. Data Kementerian Keuangan menunjukkan utang pemerintah per Juli 2025 telah mencapai Rp 8.261 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,1 persen. Proyek Infrastruktur Kelanjutan (PIK) yang disebut sebagai simbol pembangunan berkelanjutan, seringkali hanya memperlebar ruang bagi modal asing, menggusur rakyat kecil, dan membuka ketimpangan baru antara elite dan masyarakat.

Baca Juga  Standar Keberhasilan Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Dapat Diukur Dari Beberapa Indikator

Dalam situasi seperti ini, suara ulama dan tokoh bangsa kembali harus didengarkan. Buya Syafii Maarif pernah mengingatkan, “Jika bangsa ini tidak kembali kepada nurani Pancasila, maka bangsa ini akan tercerabut dari akarnya.” Gus Dur menegaskan, “Bangsa ini akan besar jika berdiri di atas dua kaki: agama dan kebangsaan. Jika salah satunya dipatahkan, bangsa ini akan pincang.” Presiden Soekarno pun berpesan, “Jadikan Pancasila sebagai way of life, bukan hanya catatan dalam undang-undang.” Semua pesan itu menegaskan bahwa Pancasila bukan sekadar dokumen konstitusional, melainkan pedoman moral yang hidup.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatihi” (setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya) [HR. Bukhari-Muslim]. Maka menjaga Pancasila dan NKRI sejatinya adalah amanah kolektif, bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab seluruh bangsa. Ulama dan umat Islam, dengan pesantren dan ormasnya, kembali memikul amanah sejarah sebagai benteng terakhir bangsa ini.

Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2025 harus menjadi titik balik bagi bangsa. Sejarah tidak boleh dilupakan. Generasi muda harus dididik untuk memahami bahaya komunisme dan neo-PKI, bukan sekadar lewat teks pelajaran, melainkan melalui pendidikan sejarah yang jujur. Sejarah adalah memori kolektif, dan bangsa yang kehilangan memori akan mengulang tragedinya. Umat Islam harus kembali memperkuat perannya: pesantren, majelis taklim, dan ormas harus menjadi basis ideologis yang kokoh untuk menolak propaganda sekularisme maupun neo-komunisme.

Di bidang ekonomi, bangsa ini harus berani menolak investasi beracun yang hanya menguntungkan korporasi asing. Pembangunan harus berakar pada ekonomi kerakyatan, pemberdayaan UMKM, dan koperasi. Investasi asing memang diperlukan, tetapi harus dikawal ketat agar tidak menyingkirkan rakyat dari tanahnya sendiri. Inilah makna kedaulatan ekonomi berbasis Pancasila. Sementara dalam tata kelola pemerintahan, nilai Ketuhanan harus kembali diletakkan sebagai fondasi. Sekularisme ekstrem yang menyingkirkan agama dari kebijakan publik harus ditolak. Tanpa nilai spiritual, pembangunan hanya akan melahirkan ketimpangan, kehampaan moral, dan semakin memperbesar dominasi asing.

Baca Juga  Pasar Murah Kurang Relevan

Bangsa ini juga membutuhkan kebangkitan nasional baru, new national awakening. Gerakan ini harus lahir dari bawah, dipimpin oleh ulama, digerakkan oleh umat, dan diarahkan untuk menjaga kedaulatan bangsa. Kesadaran kolektif ini menjadi penting agar Indonesia tidak kembali jatuh dalam perangkap kolonialisme gaya baru.

Pancasila akan tetap sakti jika kita menjaganya dengan iman, ilmu, dan pengorbanan. Kesaktian itu bukan mitos, melainkan fakta sejarah yang telah teruji. Selama ulama dan umat Islam bersatu, selama generasi muda belajar dari sejarah, dan selama para pemimpin berani menolak dominasi asing, maka Pancasila dan NKRI akan tetap tegak berdiri. Hari ini, pada 1 Oktober 2025, kita berjanji kepada Ibu Pertiwi: tidak akan membiarkan neo-komunisme bangkit, tidak akan menyerahkan bangsa kepada kolonialisme baru, dan tidak akan membiarkan umat tercerai berai. Pancasila adalah amanah Tuhan, NKRI adalah warisan para syuhada. Dan bangsa ini akan tetap hidup, selama kita setia pada keduanya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *