Politik Untuk Demokrasi Ekonomi

Beritatrends, Cawang, (29/6/2023) oleh Eva K Sundari (Institut Sarinah).

Jiwa Indonesia adalah jiwa demokrasi, jiwa kerakyatan, dan jiwa fasisme adalah jiwa anti demokrasi, jiwa anti kerakyatan, Jiwa Indonesia adalah satu jiwa, yang menurut adat, adalah jiwa yang senang kepada mufakat dan musyawarah” (Soekarno, 1940).

Salah satu alasan sulitnya advokasi RUU pro wong cilik misalnya PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) adalah karena anggapan bahwa RUU Pro Rakyat adalah populis.

Lho? Bukannya justru Pro Kerakyatan adalah ideologis karena antitesa dari isu populis sehingga sepantasnya RUU Pro Kerakyatan justru yang harus diperjuangkan at any cost?

Ideologi Pancasila adonan Sukarno telah terbukti ampuh melawan globalisasi kolonialisme di Indonesia juga di negara-negara di Asia-Afrika di tahun 50an. Keunggulan Pancasila adalah sifatnya yang progresif, berorientasi ke depan, pro publik sehingga Inklusif. Pancasila, juga akan telak untuk melawan globalisasi politik Identitas yang bersifat eksklusif dengan kebijakan-kebijakannya yang populis diskriminatif di tahun 2020 an ini.

Praktek Politik Identitas terbukti membawa kesengsaraan umat manusia baik di Timur Tengah, Eropa, Amerika bahkan di Asia. Dalam bentuk diskriminasi, pembatasan, perkosaan, bahkan etnik cleansing kepada kelompok-kelompok marginal dan minoritas.

Penyerangan Amerika untuk merebut ladang-ladang minyak atas nama demokrasi menggunakan isu politik identitas telah membelah dan mencerai-beraikan bahkan menyulut perang antar warga satu negara kebangsaan (nation-state) contohnya penyerbuan atas Irak.

Indonesia-pun tidak steril dari praktek Politik Identitas, misalnya yang terjadi di pilkada-pilkada yang mengangkat tema kampanye bernada sektarian. Kebijakan-kebijakan diskriminatif ke kelompok minoritas dan perempuan disusupkan baik di tingkat nasional (SKB pengaturan rumah ibadah) maupun di daerah berupa 400 an perda-perda yang diskriminatif terhadap warga negara marginal terutama perempuan.

Baca Juga  Komisi Perlindungan Anak Beri Penghargaan Kepada Kapolres Batu Bara Sang Pejuang Dhuafa

“Pemaksaan” pemakaian jilbab di sekolah-sekolah negeri juga telah memakan korban yang tidak sedikit sebagaimana dilaporkan Human Rights Watch 2020. Bagi yang melawan, mengalami perudunggan baik ke siswa maupun keluarganya sehingga menyebabkan trauma yang berdampak kerugian di bidang kesehatan mental hingga ekonomi.

Walau Pancasila sudah berkedudukan sebagai dasar negara dan sumber segala sumber hukum tetapi ideologi eksklusifisme/populis bisa muncul di praktek bermasyarakat dan bernegara. Nasib beberapa draft UU yang mengusung kepentingan rakyat miskin dan marginal terutama terkait perempuan bisa jadi alat ukur kuat lemahnya ideologi kerakyatan vs ideologi populisme.

Ideologi Kerakyatan vs Populis.

Sukarno menolak demokrasi parlementer yang berciri elitis karena hanya melayani kepentingan elitis. Parlemen hanya diisi oleh orang kaya dan menghasilkan kebijakan untuk memperkaya kaum elit. Demokrasi hanya di bidang politik yang bersifat prosedural bahkan menjauhi tujuan demokrasi substantif yaitu keadilan sosial.

Sukarno menganjurkan demokrasi keterwakilan (socio demokrasi) dimana rakyat miskin bersama yang kaya bisa duduk di parlemen dan mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Sehingga, transformasi ekonomi kaum miskin bisa berlangsung. Sukarno percaya wakil terbaik dari kaum miskin ya kaum marhaen sendiri untuk duduk di parlemen melalui musyawarah mufakat.

Dalam nasionalisme pancasila konsep kebangsaan di sila persatuan Indonesia dibersamai dan dijiwai dengan konsep kemanusiaan sehingga sila kedua ini sekaligus disebut BK sebagai Konsep Internasionalisme. Nasionalisme yang tumbuh dalam tamansari nya internasionalisme dan internasionalisme yang tumbuh dalam buminya nasionalisme yang merupakan kesatuan dari taman sari nasionalismenya bangsa-bangsa.

Nasionalisme-nasionalisme Kerakyatan-lah yang bisa mempersatukan global yaitu nasionalisme yang mencari persamaan-persamaan dari berbagai perbedaan-perbedaan yang ada. Pemahaman demikian disebut BK sebagai Konsep sosio-nasionalisme yaitu nasionalisme yang inklusif merangkul bangsa-bangsa, bukan nasionalisme eksklusif berisi superioritas etnik atau bangsa tertentu lalu merendahkan yang lainnya.

Baca Juga  Banjir Sampang,Tagana Buka Dapur Umum (DU)

Tetapi, tidak hanya di situ, BK juga memperkenalkan konsep sosio-Demokrasi yang berisi ajakan untuk membangun demokrasi ekonomi, bukan saja demokrasi politik. Ajakan ini semakin relevan dengan situasi saat ini ketika ekonomi kerakyatan Indonesia sempoyongan akibat dominasi ekonomi clientisme yang justru semakin subur dan menguat akibat pandemi Covid-19.

Singkatnya, sebenarnya secara materi Pancasila sudah kokoh untuk menghadapi gempuran globalisasi politik identitas yang elitis beserta kebijakan atau kebijakannya yang populis.

Problemnya, di komitmen politik para elit kita untuk melaksanakannya secara presisi, contohnya di politik legislasi nasional dan kebijakan ekonomi yang masih pro elit.

Demokrasi Ekonomi.

Dalam konsep sosio demokrasi, ada tekad dan pengakuan akan pentingnya mufakat dan pentingnya keadilan sosial yang menyeluruh bagi rakyat sebagai muaranya. BK tidak setuju demokrasi liberal yang prosedural tetapi tidak membawa perbaikan kesejahteraan rakyat banyak alias hanya menguntungkan elit semata.

Kekhawatiran BK terbukti valid oleh fakta kita saat ini setelah 76 tahun Indonesia merdeka. Laporan Oxfam (2021) memberikan gambaran bahwa ketimpangan ekonomi Indonesia adalah terburuk keenam di dunia.

Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih dari total gabungan 100 juta orang termiskin.

Ketimpangan ini harus direspon dan dibereskan karena akan melemahkan upaya menghapus kemiskinan, mengerem pertumbuhan ekonomi dan tentu saja mengancam kohesi sosial. Pelembagaan ekonomi harus dilakukan untuk mewujudkan keadilan sosial. Kebijakan ekonomi berorientasi jangka pendek yang semata untuk merespon krisis demi krisis tahunan nyatanya hanya memperburuk gap ekonomi bukan?

Dalam menjalankan demokrasi ekonomi kita harus mengikuti perintah konstitusi yaitu membentuk perekonomian berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan dari, oleh, dan untuk rakyat di bawah pimpinan dan pengawasan pemerintah yang tidak boleh dibajak elit. Artinya dan harusnya, seluruh sumber daya politik dan ekonomi dikuasai oleh rakyat yang berdaulat, bukan elit yang bekerja untuk kepentingan elit golongan.

Baca Juga  Bimtek Pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Dibuka Langsung Oleh PJ Bupati Landak

Salah satu pilihan, dan yang paling penting dan mendesak adalah melakukan revitalisasi ekonomi kerakyatan dalam platform politik sekaligus melakukan Institutionalisasinya ke dalam Realignment Politik.

Dua isu strategis dan jangka panjang misalnya dimulai dengan membuat UU bagi penguatan status politik dan ekonomi kelompok rakyat miskin yaitu dengan menyetujuI UU untuk memperkuat Demokrasi Ekonomi seperti RUU PPRT, RUU Masyarakat Adat, RUU Koperasi, RUU Sistem Penggajian Nasional, RUU Perekonomian Indonesia maupun RUU Kesetaraan Gender.

Pengesahan berbagai UU tersebut adalah tindakan ideologis, berorientasi jangka panjang dan harusnya dilakukan at any cost dan menolaknya justru menunjukkan pemihakan terhadap ideologi populisme. Mengesahkan RUU-RUU pro Ekonomi Kerakyatan akan menjadi alat mewujudkan agenda jangka panjang negara yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sayangnya, elit mengglorifikasi Pancasila hanya sebatas di konsep socio nasionalisme dan tindakan-tindakannya justru menolak socio demokrasi. Sikap anti kerakyatan (populis pro elit) ini ditandai oleh tidak satunya kata dan perbuatan. Pidato sering pro Pancasila tetapi tindakan kebijakan justru sebaliknya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *