Murid TK Az-Zahra Magetan saat belajar Berpindah-Pindah dari Masjid satu ke masjid yang lain dan dari rumah satu ke rumah yang lain bahkan kadang di Alun – alun karena Tak Punya Gedung
Beritatrends, Magetan – Kegiatan belajar mengajar murid Taman Kanak-Kanak (TK) Az-Zahra terpaksa harus berpindah-pindah tempat.
Kondisi ini telah berlangsung selama sebulan belakangan, lantaran sekolah yang sebelumnya bertempat di Jln. Samudra, Kelurahan Bulukerto, Kecamatan/Kabupaten Magetan ini putus kontrak, sebab tak mampu perpanjang sewa gedung.
Tentu ini menjadi sebuah ironi, di tengah perhatian besar pemerintah terhadap dunia pendidikan, faktanya TK yang berada di bawah naungan Yayasan Swastika ini sekarang harus menahan keprihatinan sendiri.
“Wali murid tiap hari tanya, kapan bu kita belajar masuk sekolahan? Kita sebagai guru ya tekanan batin. Kasihan anak-anak mainannya kurang, belajarnya juga kurang. Apalagi jika pindah tempat baru tentu harus adaptasi lagi,” ungkap pengelola TK Az-Zahra, Dyah Kartika Rahayu, S.E., saat ditemui awak media, Sabtu (8/4/2023).
Disisi lain, dijelaskan oleh Dewan Pengawas TK Az-Zahra, Rudi Setyawan, S.Pd., ada tanggung jawab moral yang membuatnya konsisten mempertahankan agar sekolah ini dapat terus beroperasi, walau harus pindah-pindah tempat beberapa kali.
“Akhirnya kami mempunyai inisiatif keliling/pindah-pindah sampai nanti kami bisa mempunyai solusi. Kadang kami mengajak anak-anak ke tempat terbuka di alun-alun sambil kita belajar alam, ke masjid, atau rumah pengelola sendiri,” jelasnya.
Berpuluh-puluh tahun, lanjut Rudi, Yayasan Swastika telah bertahan secara mandiri untuk terus mengabdi.
Subsidi, hingga tak mengambil sepeserpun gaji, diperparah dengan kasus pandemi tempo hari, yang membuat Yayasan terengah-engah untuk menanggung beban operasional.
Diakui Rudi, pihaknya telah mencoba mengkomunikasikan ini kepada Lembaga Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI), sayangnya belum membuahkan hasil.
“Kami sudah pernah mencoba menghubungi PNFI, tapi masih kurang ada bantuan yang optimal. Disini kami mencoba bertahan, siapa tahu ada solusi lagi. meskipun jumlah peserta didik sekarang ada 14, belum tahu bagaimana nanti kelanjutannya,” kata Rudi.
Ia sangat mewanti-wanti agar jangan sampai ada kata “bubar”, mengingat program yang ditawarkan sekolah telah unggul, yakni sesuai dengan kurikulum, muatan lokal budi pekerti, dan sebagainya.
Namun, lebih jauh soal itu, Rudi juga bicara mengenai sistem yang dinilai memberatkan, melihat pemberian bantuan sekolah saat ini disesuaikan dengan jumlah siswa binaan.
Padahal, menurutnya, baik sedikit atau dengan banyak siswa, operasional tetap berjalan sama.
“Jujur saja kita juga tidak merasa benar dalam melakukan pengelolaan, tetapi kita juga berhadapan pada sistem yang memberatkan, artinya sekarang bantuan tergantung dari jumlah murid, akan tetapi operasionalnya sama. Jika murid sedikit bantuan sedikit, tetapi kontrak untuk sekolahan kan tetep sama, itu yang berat,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Swastika, Drs. Abraham Nurcahyo, M.Hum., juga mengeluhkan tentang sistem penataan sekolah di Magetan.
Dari banyaknya Posyandu dan TK/PAUD yang diintegrasikan menjadi Taman Posyandu. Menurutnya, hal semacam ini dinilai tumpang tindih karena tidak sesuai dengan tupoksinya.
Sehingga, lanjut Abraham, diperlukan evaluasi dan regulasi untuk memperjelas sistem pengelolaan TK di Magetan.
“Kalau ingin sehat, ya diaudit lah TK TK itu, kalau memang mandiri hendaknya semua TK juga maaf punya dewan penyantun, misalkan. Karena tujuan TK itu jelas, kalau di Magetan sulit profit, beda dengan di kota besar. Tapi fungsi kami ikut mencerdaskan tidak bisa seperti itu. Makanya regulasinya itu bagaimana,” tandasnya.