Guru: Lentera Peradaban, Panggilan Suci Indonesia (Refleksi Hari Guru Nasional 2025)

Oleh Gus Imam (Pendidik & Pengamal Pendidikan)

BeritaTrends, Magetan – Saat fajar menyapa bumi pertiwi pada Hari Guru Nasional 2025, terbetik dalam batin kita sebuah renungan lembut namun dalam, bagai embun pagi di daun muda — sementara kita merayakan pengabdian para guru, kita juga menengok realita yang tak bisa dipandang sebelah mata. Guru bukan sekadar profesi; mereka adalah pilar peradaban, penjaga cahaya dalam gelap, lentera ruhani yang menuntun generasi menuju masa depan yang bermartabat. Dan di balik senyum penuh kesabaran mereka, tersimpan beban berat sekaligus harapan luhur: beban akan kekurangan tenaga, harapan akan penghargaan, dan panggilan untuk mentransformasi pendidikan.

Bayangkan, di negeri seluas Nusantara ini, statistik berbicara pada kita dengan nada pilu. Data Kemendikbudristek mencatat bahwa pada 2024, Indonesia diprediksi kekurangan 1.312.759 guru. Sepanjang 2022 hingga 2023, rata-rata lebih dari 70.000 guru pensiun setiap tahun, seakan meninggalkan lubang besar dalam regenerasi tenaga pendidik. Sebuah panggilan darurat bagi masa depan bangsa — bukan hanya soal kuantitas, tetapi soal bagaimana iman dan intelektualitas bertemu dalam satu pilar pengajaran.

Krisis ini tidak hanya soal jumlah. Meski jumlah guru nasional terhitung milyaran — data menyebut sekitar 3,3 juta guru di sekolah negeri pada 2022–2023. Namun distribusi mereka jauh dari ideal. Di beberapa wilayah, terutama pedalaman dan sekolah swasta kecil, masih terasa pahitnya kekosongan guru berkualitas. Bahkan di tengah kebutuhan mendesak, banyak guru honorer yang mengabdi dengan ketidakpastian status dan pengakuan profesional, meski pengorbanan mereka sungguh besar.

Melihat problematika tersebut, pemerintah menaruh harapan besar pada Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai solusi strategis. Pada 2024, PPG dalam jabatan dijalankan dalam tiga tahap dengan total 606.601 peserta, dan 598.558 di antaranya lulus, atau sekitar 98,59%. Angka itu lebih dari sekadar statistik — ia adalah simbol ambisi nasional untuk memperkuat profesionalisme guru sebagai pondasi masa depan pendidikan Indonesia.

Namun ambisi tanpa strategi konkret akan menjadi retorika semata. Redistribusi guru pun menjadi isu krusial. Menurut Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan, meski jumlah guru secara nasional bisa dikatakan “ideal” dalam beberapa dimensi, masih ada kekurangan sekitar 374.000 guru di satuan pendidikan negeri berdasarkan Analisis Beban Kerja (ABK) dari Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Di sisi lain, terdapat kelebihan guru di beberapa bidang pendidikan — sebuah paradoks yang menuntut kebijakan redistribusi adil dari pemerintah pusat dan daerah, bukan hanya rotasi, tetapi semangat gotong royong agar setiap anak di pelosok negeri memperoleh hak belajar yang layak.

Baca Juga  Tajdid Semangat Pemuda: Refleksi Spiritual atas Amanat Sumpah Pemuda 1928

Dalam kesunyian harapan pekerja keras itu, para guru memendam impian yang jauh melampaui materi pelajaran. Mereka tidak hanya ingin mengajar formulir matematika atau rumus IPA; mereka ingin menjadi agent of change, cahaya moral dan intelektual di tengah masyarakat. Banyak dari mereka membayangkan jalur karier yang lebih jelas: dari menjadi guru biasa, menjadi mentor, pengajar PPG, kepala sekolah, hingga menjadi pemimpin pendidikan di komunitasnya. Mereka berharap negara memberi beasiswa bagi guru yang belum meraih gelar S1 atau D4 — atas nama keadilan dan kualitas.

Harapan itu tak hanya bersifat profesional, tetapi sangat spiritual. Menjadi guru, dalam pandangan para pendidik sejati, adalah panggilan suci dan amanah Ilahi. Dalam tradisi Islam, kedudukan guru sangat mulia: Rasulullah SAW bersabda, “خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ”, (“Sebaik‑baik di antara kalian adalah orang yang belajar Al‑Qur’an dan mengajarkannya”). Di hadits lain, beliau mengingatkan agar setiap Muslim menjadi penuntut ilmu, pendidik, pendengar ilmu, atau setidaknya pecinta ilmu — karena guru adalah denyut nadi dari transfer ilmu dan akhlak.

Dalam kisah Al‑Ghazali, seorang ulama besar dalam tradisi keilmuan Islam, guru dipandang sebagai “wakah warisan nabi” dalam arti spiritual dan intelektual. Mereka bukan hanya mengajarkan materi, tetapi menanam benih moral dan memupuk jiwa generasi. Adab mengajar, kecintaan pada murid, dan pengabdian tanpa pamrih adalah nilai-nilai yang diajarkan secara turun-temurun dalam tradisi madrasah dan pesantren.

Dengan perpaduan kerinduan spiritual dan urgensi data, lahirlah sebuah visi transformatif: road map moral-politik untuk pendidikan Indonesia. Pertama, memperluas dan mempercepat PPG — bukan hanya untuk guru pra-jabatan, tetapi juga bagi mereka yang telah mengabdi puluhan tahun. Skema fast-track, pembelajaran daring (online learning), serta pembiayaan penuh (fully funded) harus dihadirkan agar PPG menjadi investasi, bukan beban.

Kedua, redistribusi guru harus dijalankan dengan adil dan strategis. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah perlu diperkuat agar distribusi guru tidak lagi timpang: insentif bagi penempatan di wilayah terpencil, rotasi terstruktur, dan pemetaan kebutuhan berbasis data (big data) menjadi instrumen utama. Pemerintah harus paham bahwa merekrut guru saja tidak cukup; mengelola human capital guru agar merata adalah kunci.

Baca Juga  Politik, Hukum, Ekonomi, Trending Medsos dan Sorotan Bagian Terpenting Bergejolak Dalam Arti Ruwet, Masyarakat Bingung Mikirnya

Ketiga, kesejahteraan guru perlu dijadikan prioritas moral sekaligus kebijakan. Tunjangan sertifikasi yang layak, transparansi jalur karier profesional, serta beasiswa untuk guru yang ingin melanjutkan studi adalah ungkapan penghormatan terhadap profesi pengajar. Gaji layak bukanlah kemewahan, melainkan dasar agar para guro dapat mengabdikan diri tanpa terbebani kecemasan ekonomi.

Keempat, kapasitas profesional guru mesti terus diperkuat melalui continuous professional development. Pelatihan tidak boleh bersifat formalitas: ia harus mencakup pedagogi modern, literasi digital, manajemen kelas, penilaian (assessment) berbasis kompetensi, dan terutama pendidikan karakter. Mentorship antara guru senior dan junior dapat menumbuhkan komunitas pembelajar (learning community) yang saling menguatkan.

Kelima, kebijakan pendidikan harus bersifat partisipatif. Para guru harus dilibatkan sebagai subjek strategis dalam perumusan kebijakan, bukan hanya pelaksana. Forum guru di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional dapat menjadi ruang aspirasi, dialog kebijakan, dan evaluasi bersama. Inilah demokrasi pendidikan yang menghargai pengalaman dan suara guru di lapangan.

Keenam, data harus menjadi kompas kebijakan. Sistem Dapodik harus dikelola dengan transparansi, integritas, dan akuntabilitas. Analisis kebutuhan guru berbasis big data harus menjadi dasar perumusan kebijakan redistribusi, rekrutmen, dan program peningkatan profesional. Evaluasi program PPG dan redistribusi guru mesti dilakukan secara rutin dengan indikator yang jelas: jumlah guru bersertifikat, sebaran geografis, dampak pada student learning outcomes, dan kualitas pembelajaran.

Namun transformasi struktural saja tidak cukup tanpa gerakan moral-spiritual yang mengakar. Kita perlu membangkitkan narasi bahwa guru adalah servant-leaders — pemimpin yang melayani, bukan dikuasai oleh ego birokrasi. Komunitas guru (teacher community) harus menjadi ruang di mana dedikasi, integritas, kasih sayang, dan inovasi tumbuh bersama. Guru bukan sekadar pekerja, tetapi teladan moral, pembimbing jiwa, dan pembentuk karakter generasi.

Dalam spirit religi, menghormati guru bukan hanya penghargaan sosial, melainkan ibadah. Ada hadis yang menyatakan bahwa seluruh makhluk — malaikat, manusia, bahkan semut di liang dan ikan di laut — mendoakan orang yang mengajarkan kebaikan pada manusia. Guru yang menanam nilai dan ilmu akan mendapatkan pahala yang terus mengalir, seperti sadaqah jariyah, karena ilmu yang diajarkan terus memberi manfaat meski jasad telah tiada. Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa guru yang mendidik tidak hanya menjalankan tugas profesional, tetapi juga ibadah, sebagai bagian dari thinker-legacy yang melestarikan warisan keilmuan Islam.

Baca Juga  Dump Truk Over Dimensi Disebabkan Carut Marut Pengelolaan Tambang di Magetan

Bayangkan sejenak wajah guru di pelosok: seorang ustadzah di desa terpencil, mengajar Al-Qur’an di malam hari di ruangan sederhana; seorang guru matematika honorer di sekolah negeri kecil, mengorbankan waktu istirahat demi membimbing murid yang lemah hitung; seorang guru agama yang bertahun-tahun hanya menerima penghasilan minim, namun terus menabur hikmah. Kisah mereka tidak sekadar cerita manusia, tetapi epik pengabdian tak bersuara — narasi spiritual yang menuntut penghargaan kolektif.

Jika semua harapan ini kita wujudkan, kita akan menyaksikan kebangkitan pendidikan Indonesia: sebuah education renaissance di mana guru dihormati dengan segenap hati, karier mereka berkembang dengan adil, dan distribusi tenaga pendidik merata hingga pelosok. Setiap anak, di mana pun ia berada, akan memiliki akses kepada guru berkualitas dan penuh dedikasi. Pendidikan bukan lagi sekadar sarana transfer pengetahuan, tetapi wahana pembentukan karakter, moral, dan spiritual.

Pada Hari Guru Nasional 2025 ini, mari kita menundukkan kepala dalam doa dan rasa syukur. Semoga para guru kita selalu diberikan kekuatan, kesabaran, dan pengakuan. Semoga panggilan suci mereka — menjadi lentera pengetahuan dan nurani — dianggap sebagai ibadah mulia di hadapan Ilahi. Dan sebagai bangsa, semoga kita mengambil tanggung jawab ini dengan sungguh: mendukung, menghormati, dan memberdayakan guru sebagai arsitek masa depan peradaban.

Kita berikrar bersama: untuk menghormati guru bukan hanya dalam kata, tetapi dalam tindakan nyata; untuk membangun kebijakan yang berpihak, dan untuk membina budaya penghargaan yang sejati di setiap sudut negeri. Karena ketika guru diperlakukan sebagai cahaya, maka negeri ini pun akan bersinar dari dalam — tidak hanya dalam prestasi akademik, tetapi dalam ketakwaan, kebijaksanaan, dan kasih sayang yang meneduhkan.

Selamat Hari Guru Nasional 2025. Semoga renungan ini menjadi pengingat abadi: guru adalah karunia Ilahi, arsitek harapan, dan lentera peradaban. Mari kita rawat cahaya mereka, agar sinarnya menuntun kita menuju masa depan yang lebih mulia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *