Menjadi Pendekar Yang Menghadirkan Kedamaian

Oleh: Gus Imam (Mantan Siswa PSHT)

BeritaTrends, Magetan – Di malam yang seharusnya teduh dalam pelukan langit dan kelembutan dzikir, suara raungan knalpot blong merobek keheningan. Jalanan yang seharusnya menjadi ruang bagi doa, kasih sayang, dan ketenangan, kini dipenuhi euforia yang meledak tanpa arah. Wajah-wajah muda menyala oleh gairah kemenangan, namun kemenangan seperti apa yang dirayakan bila yang tersisa hanya keresahan, ketegangan, dan tangis keluarga yang tak tahu menahu?

Jika konvoi dimaksudkan sebagai wujud syukur, mengapa keresahan justru lebih banyak dituai daripada ketenteraman? Jika ini disebut sebagai “tradisi suronan”, mari kita duduk sejenak dan merenung dalam-dalam: apakah ini sungguh warisan suci dari para leluhur Setia Hati yang bijak dan halus budinya? Atau justru penyimpangan dari nilai-nilai luhur pendekar sejati?

Rivalitas dua saudara tua—PSHWTM dan PSHT—yang lahir dari satu tangan agung Eyang Ki Ngabehi Ageng Soerodiwirjo, dulu sempat menjadi bara yang menghanguskan. Di masa lalu, konflik sering menjalar seperti api yang kehilangan kendali. Namun dalam lima tahun terakhir, angin sejuk mulai berhembus, luka-luka lama perlahan dijahit dengan niat baik dan semangat ukhuwah. Tapi sayangnya, yang dirayakan bukanlah kerukunan, bukan pula ridha Allah, melainkan raungan mesin dan kebisingan jalanan, yang kerap diikuti oleh berita pilu di media sosial: pengeroyokan, pengrusakan, bahkan pemukulan terhadap aparat. Hati siapa yang tak miris?

Maka kita bertanya dalam bening hati: apakah seperti ini wajah sejati pendekar? Di mana letak ilmu yang diajarkan dengan penuh hormat? Di mana adab yang diwariskan? Di mana tanggung jawab ruhani yang selama ini menjadi kebanggaan?

Bukankah ajaran para sesepuh mewariskan prinsip memayu hayuning bawono—menjaga keindahan dan harmoni semesta, meneduhkan bumi dan manusia? Jika nilai ini benar-benar terpatri, mengapa jalan-jalan berubah menjadi medan pamer kekuatan dan sumber keresahan?

Baca Juga  Kapolres Ponorogo Pimpin Analisa Dan Evaluasi Kinerja Bulanan Di Polsek Bungkal

Sebagian mungkin akan berkata, “Ini tradisi, Gus.” Tapi tradisi yang tak berakar pada nilai ilahiyah dan tak melahirkan maslahat hanyalah kebiasaan kosong yang menjerat jiwa. Sebab di atas ikatan organisasi, ada yang lebih suci dan tak boleh dilanggar: ikatan insaniyyah—ikatan kemanusiaan. Seperti dikatakan oleh Imam Al-Ghazali: laisa ad-dinu bi kasratil harakah wal hadits, wa innama huwa fi husnil akhlaq wal amni was-salam yang berarti “Agama bukan terletak pada banyaknya gerak dan suara, tetapi pada indahnya akhlak, keamanan, dan kedamaian.”

Dalam setiap penyampaian materi ke-SH-an bersama siswa dan warga PSHT, saya tidak hanya membawakan sejarah dan filosofi ajaran, tapi juga berusaha menggugah kesadaran dengan meneladankan jejak laku para pendiri PSHT. Bahwa menjadi pendekar bukan sekadar menguasai jurus dan kadigdayan, tetapi menjadi manusia yang menghadirkan rahmat di manapun ia berada. Karena khairunnas anfa’uhum linnas—sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi sesama.

Kita kini berdiri di persimpangan sejarah. Apakah akan kita jaga nilai-nilai luhur ini, atau kita biarkan terkikis oleh arogansi? Apakah kita ingin dikenang sebagai penjaga akhlak dan keilmuan, atau hanya sebagai kerumunan tanpa arah yang meninggalkan jejak kerusakan? Jangan sampai kita menjadi bagian dari sabda Rasulullah ﷺ: man syabba ‘ala syai’in, maata ‘alayh yang berarti “Barangsiapa tumbuh dalam suatu keadaan, maka ia akan wafat dalam keadaan itu pula.” Jika kita tumbuh dalam adigang dan kekerasan, maka celakalah akhir hidup kita jika itu yang dibawa pulang menghadap-Nya.

Oleh sebab itu, saya sangat bersyukur dan menaruh hormat kepada sejumlah Ranting PSHT yang mulai mengubah arah tasyakuran. Tak lagi dengan konvoi liar dan kebisingan jalanan, tetapi dengan tahlil, shalawatan, pengajian, dan perenungan yang menggugah hati. Inilah langkah suci yang menghadirkan keberkahan sejati. Sebab dalam dzikir dan shalawatlah rahmat Allah diturunkan.

Baca Juga  PD IWO Rohul Beri Apresiasi,  AKP Rainly L Dan  IPDA Refly Terima Reward Dari Kapolres

Para muassis kita—dari Kangmas Ki Hadjar Hardjo Oetomo hingga Kangmas RM Imam Koesoepangat—dikenang bukan karena gegap gempita, tetapi karena wirid, kesederhanaan, laku ilmu, dan laku adab yang menumbuhkan kedamaian dalam diam. Sebagaimana dikatakan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki: al-haqiqatu laysat fi harakin nas, innama hiya fi sakinah al-qalb yang berarti “Hakikat sejati tidak terletak pada keramaian manusia, tetapi dalam ketenangan hati.”

Pendekar sejati bukan yang paling lantang suaranya, tapi yang paling bening qalbunya. Bukan yang menebar takut, tetapi yang menyebar kasih. Bukan yang mencari panggung, tapi yang menjadi pelita. Pendekar sejati memelihara keberanian, tetapi membingkainya dengan kelembutan.

Marwah organisasi tak bisa dijaga dari luar. Hanya insan-insan yang setia dalam dapat menjaganya. Dan penjagaan itu bukan sekadar baliho atau jargon, tetapi laku hidup yang menyatu dalam keseharian. Sebab Allah telah berfirman: man atallah bi qalbin salim yang berarti “Barangsiapa datang kepada Allah dengan hati yang bersih, maka dialah yang akan selamat.” (QS. Asy-Syu’ara: 89)

Setia Hati—sebuah nama yang begitu indah dan syahdu. Tapi tanyalah dirimu: apakah hatimu benar-benar setia? Setia pada ajaran? Pada akhlak? Pada nilai luhur dan rahmat yang diwariskan? Ataukah hanya setia pada simbol, seragam, dan kebanggaan kosong?

Mari kita perbaiki arah dan niat. Bahwa menjadi bagian dari PSHT adalah amanah ruhani, bukan sekadar identitas sosial. Bahwa menjadi pendekar bukan untuk ditakuti, tapi untuk melindungi. Bukan untuk mendominasi, tapi untuk memberi teladan. Sebagaimana dikatakan oleh para arif: al-muru’atu hiya an takuna mahbuban fi buyutillah qablal buyutin nas yang berarti “Kemuliaan sejati adalah ketika engkau dicintai di rumah Allah sebelum engkau dicintai di rumah manusia.”

Baca Juga  Polres Ponorogo Terjunkan 500 Personil Dalam Pengamanan Konser Musik Deni Caknan

Mari kita bersihkan nama besar ini dari amarah, egoisme, dan kebisingan batin. Mari kita arahkan seluruh energi kita untuk mencipta maslahat, menebar damai, dan menjadi panutan. Bukan karena ingin dilihat, tetapi karena kita sadar: inilah jalan pulang yang penuh cahaya. Jalan menuju husnul khatimah. Jalan menuju ridha-Nya.

Dan untuk itu, kita butuh satu bekal yang tak bisa dibeli: qalbun salim—hati yang bersih, hati yang lapang, hati yang memaafkan dan mencintai. Hati yang benar-benar setia. Setia Hati.

Setia Hati untuk Allah. Setia Hati untuk sesama. Setia Hati untuk kedamaian yang hakiki.

______________________
Rayon Rajawali Maospati, 10 Muharram 1447 H

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *