Merebaknya Wabah Tikus Berdasi Dikala Pandemi Covid-19

Andi Rasyida Akmalia, Kedokteran-Universitas Airlangga,NIM.012111133164.

Beritatrends – Polemik tindak pidana korupsi (Tipikor) merupakan malapetaka bagi seluruh negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Bukan hanya menimbulkan kerugian secara materiil bagi negara, korupsi nyatanya turut menciderai hak sosial masyarakat.

Terhambatnya pertumbuhan ekonomi, kemerosotan investasi, eskalasi kemiskinan, hingga ketimpangan pendapatan hanyalah sebagian dari banyaknya dampak negatif korupsi.

Ironinya, extraordinary crime tersebut tidak pernah memandang situasi, kondisi, apalagi korbannya. Selama pandemi COVID-19 saja, di mana Indonesia sedang pontang-panting menghadapi wabah tersebut, korupsi justru semakin menjamur menjadi suatu wabah baru.

Ibarat ladang emas yang menyilaukan mata, situasi serba sulit ini dimanfaatkan oleh para koruptor untuk kepentingan pribadi. Kontroversi korupsi semakin memanas pasca tertangkap tangannya mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara, atas kasus korupsi dana bantuan sosial masyarakat. Masyarakat yang sedang dilanda situasi serba krisis semakin meringis.

Prioritas utama negara saat ini memang aspek kesehatan, tapi jenis white collar crime tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja dan dianggap angin lalu.

Sayangnya, penjatuhan pidana bagi koruptor selama ini terkesan sekadar retorika belaka. Pidana penjara dan pengembalian aset negara atas kasus korupsi tidak sebanding dengan besarnya kerugian dari kejahatan tersebut.

Realita di lapangan banyaknya kasus korupsi di kalangan aparat penegak hukum juga memangkas kepercayaan masyarakat. Penegak hukum yang harusnya menjadi tangan kanan dalam penangan carut marut korupsi justru ikut mewarnai kejahatan korupsi ibu pertiwi. Isu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilemahkan pasca revisi UU KPK 2019 menjadi puncak kemarahan masyarakat. Arah pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini menjadi tanda tanya besar.

Masalah tipikor di Indonesia bukanlah hal baru saja di hadapi, melainkan negara ibu pertiwi ini pernah menyandang status sebagai negara ter”korup” Asia pada tahun 1998. Sebagai suatu kejahatan luar biasa, korupsi dinilai sudah mendarah daging dan bahkan disinggung sebagai “budaya bangsa. Pada tahun 2020, World Justice Project menerbitkan Rule of Law Index yang memposisikan Indonesia pada urutan ke 92 dari 129 dalam hal ketiadaan korupsi.

Selain itu, Transparency International Indonesia juga menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia menempati posisi ke 102 dari 108 dengan skor 37 (International, 2020). Mirisnya, pada saat situasi pandemi COVID-19, di mana seluruh masyarakat sedang menghadapi keadaan kedaruratan dan krisis ekonomi, para oknum tak bertanggung jawab bersikap apatis dan selalu mencari celah untuk korupsi.

Selama pandemi COVID-19, pemerintah mengupayakan berbagai cara untuk menangani dampak negatif dari wabah penyakit yang sudah tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Sepanjang tahun 2020, hutang negara bertambah 27% atau Rp.1.296,56 triliun dari Rp.4.778 triliun pada Desember 2019 dan mencapai angka Rp.6.074,56 triliun di Desember 2020.

Di lain sisi, tercatat selama tahun 2020 Polri sudah menangani sebanyak 1.412 kasus korupsi dengan kerugian mencapai 3 triliun rupiah.

Sementara itu, pada tahun yang sama KPK menetapkan 109 tersangka dari 91 kasus korupsi. Dari penjabaran tersebut, dapat digaris bawahi bahwa fenomena korupsi selama pandemi menghambat proses pemulihan Indonesia dari dampak covid-19 yang hampir merambah di berbagai sektor kehidupan.

Komplikasi kasus korupsi selama pandemi ternyata bertolak belakang dari tren pemidanaan para koruptor. Berdasarkan catatan KPK, sebanyak 20 perkara yang KPK tangani dalam periode 2019-2020 justru dipotong hukumannya. Pengurangan masa hukuman terpidana korupsi tersebut didasarkan pada putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung.

Pengurangan vonis hukuman terhadap para koruptor yang berlangsung selama pandemi memperparah status quo pemberantasan korupsi itu sendiri. Bersamaan dengan hal tersebut, penjatuhan pidana yang begitu ringan tentu tidak akan menimbulkan efek jera dan justru potensial menjadikan koruptor semakin leluasa.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan tipikor (PERMA 1/2020), telah dikeluarkan sebagai menjadi acuan majelis hakim dalam mempertimbangkan dan mengadili perkara korupsi terkait kerugian keuangan atau perekonomian negara. Akan tetapi, nampaknya majelis hakim belum mengimplementasikan aturan a quo dengan baik dan tepat.

Carut marut pemidanaan tipikor di Indonesia diperparah dengan fakta bahwa di internal aparat penegak hukum sendiri yang seringkali berperilaku korup. Lantas, hal tersebut menimbulkan tanda tanya besar terkait arah pemberantasan korupsi saat ini dan masa mendatang.

Pandemi COVID-19 tidak sepantasnya menjadi penghalang dalam penegakan hukum dan tidak pula membuka peluang peluang manis untuk koruptor. Di saat yang bersamaan, pada tahun 2019 lahirlah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU KPK 2019) sebagai revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (UU KPK 2002).

Kasus konkrit yang belum lama ini menjadi buah bibir di masyarakat adalah kasus korupsi bantuan sosial yang seharusnya menjadi tamparan keras Negara. Perkara a quo diawali dengan pengadaan bantuan sosial penanganan COVID-19 berupa sembako di Kementerian Sosial Republik Indonesia 2020 dengan nilai pengadaan mencapai Rp. 5,9 Triliun.

Juliari, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Sosial, diketahui meminta fee sebesar Rp.10.000 dari setiap paket sembako bantuan sosial kepada vendor. Dari kejadian tersebut, ICW menduga kerugian negara mencapai Rp. 2,7 Triliun.

Fenomena tersebut bertolak belakang dengan isi dari Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 54/HUK/2020 tentang Pelaksanaan Bantuan Sosial Sembako dan Bantuan Sosial Tunai Dalam Penanganan Dampak COVID-19 yang pada pokoknya menegaskan adanya urgensi pemberian bantuan sosial untuk menjaga stabilitas ekonomi dan menghindari ancaman resesi ekonomi.

Pos terkait