Peringati HUT RI ke 80 dengan Dzikir
BeritaTrends, Magetan — Malam Ahad Wage itu, langit Desa Ngujung seakan memendam rahasia. Angin membawa kesejukan yang menyusup lembut ke dalam dada, menggiring langkah-langkah menuju satu tempat: Masjid Pondok Pesantren Raden Patah. Cahaya lampu berpadu dengan raut wajah para jamaah yang penuh harap, berkumpul bukan sekadar mengenang kemerdekaan, tetapi memohonkan keselamatan negeri dengan cara yang jarang terlihat: dzikir dan munajat dalam diam.
Malam itu menjadi bagian dari peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, Ahad Wage malam Senin Kliwon, 16 Safar 1447 H, bertepatan 10 Agustus 2025. Lebih dari seratus jiwa hadir — para takmir masjid, penggiat thariqah, majelis taklim, tokoh desa, santri, hingga tamu undangan — semua melebur dalam satu napas cinta untuk tanah air. Hadir pula Kepala Desa Ngujung, Bapak Madun; Babinsa, Bapak Hartoyo; dan Bhabinkamtibmas, Bapak Heri, yang datang bukan hanya memberi sambutan, tetapi juga restu dari hati.
Acara dibuka dengan lantunan shalawat hadrah banjari santri Pondok Pesantren Raden Patah. Irama yang menghentak lembut itu seolah mengetuk pintu qalbu, mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hadiah yang jatuh dari langit, melainkan anugerah yang lahir dari darah, air mata, dan doa para pejuang. Sambutan pun mengalir: Kepala Desa Madun memaparkan rencana perayaan HUT RI di tingkat desa, Babinsa Hartoyo menegaskan pentingnya menjaga ideologi dan martabat bangsa, sementara Bhabinkamtibmas Heri mengingatkan bahwa dzikir dan munajat adalah bagian dari bakti anak bangsa kepada negaranya.
Suasana berubah syahdu ketika Romo Kyai R. Muhammad Imaamul Muslimin, S.Pd., MM., atau Gus Imam, berdiri memimpin dzikir. Suaranya teduh, menuntun jamaah menelusuri jejak para syuhada, ulama, kiai, dan santri yang merebut kemerdekaan. Harapannya sederhana namun agung: agar Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur — negeri tenteram, makmur, dan penuh ampunan Allah; negeri yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertoraharjo, jauh dari bencana dan kerusakan.
Lalu, sebuah momen istimewa terjadi. Sebagai seorang mursyid tarekat, Gus Imam mengajak jamaah memejamkan mata, merundukkan hati, dan memanjatkan doa — tanpa suara, tanpa gerak bibir, tanpa isyarat. Doa yang beliau sebut “Doa dalam Diam”.
“Biarkan ruh yang berbicara… biarkan hati yang meminta,” ujarnya lembut.
Keheningan pun turun menyelimuti masjid. Tak ada kata terdengar, namun udara seperti dipenuhi bisikan yang hanya Allah dengar. Setiap tarikan napas menjadi tasbih, setiap detak jantung menjadi tahmid, dan setiap tetes air mata menjadi permohonan yang melayang menuju langit.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik dzikir adalah dzikir yang tersembunyi, dan sebaik-baik rezeki adalah yang mencukupi” (HR. Ahmad). Al-Qur’an pun menegaskan, “Wa in tajhar bil-qauli fa-innahu ya‘lamu al-sirra wa akhfā” — “Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui yang rahasia dan yang lebih tersembunyi” (QS. Ṭāhā: 7).
Doa dalam diam bukan sekadar tanpa suara. Ia adalah keadaan ketika hati larut dalam kekhusyukan, ruh merunduk di hadapan Yang Maha Tinggi, dan tabir antara hamba dan Tuhan seakan tersingkap. Kadang manusia tak tahu kata apa yang tepat untuk memohon, namun Allah mengerti bahasa yang tak pernah kita pelajari. Sebagaimana firman-Nya, “Wa qad na‘lamu mā tuwaswisu bihi nafsuh, wa nahnu aqrabu ilaihi min hablil-warīd” — “Dan sungguh Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaf: 16).
Malam itu, doa-doa yang tak terdengar telinga justru menjadi suara paling murni yang membumbung ke langit. Tidak ada susunan kata yang dipoles, tidak ada intonasi yang dipilih, hanya hati yang terbuka seutuhnya, menyerah total kepada Allah. Dan di tengah keheningan itu, Indonesia dipeluk doa — agar negeri ini teguh, damai, dan sejahtera dalam keadilan.
Di zaman ketika peringatan kemerdekaan sering diwarnai riuh pesta, Desa Ngujung memberi teladan lain: menundukkan kepala, menenangkan hati, dan melangitkan doa tanpa kata. Sebab kadang, yang paling menggugah bukanlah suara lantang, melainkan keheningan yang membawa kita pulang kepada Dia yang memberi kita kemerdekaan.
Dan ketika fajar menyentuh ufuk timur, cahaya pagi perlahan menyusup ke jendela masjid. Jamaah yang semalaman bermunajat membuka mata, namun hati mereka tetap tertunduk di hadapan-Nya. Tak ada sorak-sorai, tak ada tepuk tangan. Yang tersisa hanyalah syukur yang membuncah, menyadarkan bahwa kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas dari penjajahan, melainkan bebas dari gelapnya hati dan keringnya doa. Malam itu, di Desa Ngujung, kemerdekaan Indonesia kembali dipatri — bukan dengan dentuman meriam atau pekik pidato, tetapi dengan bisikan ruh yang memanggil nama Allah dalam diam, demi negeri yang kita cintai dengan segenap rahsa dan jiwa.