Opini
Ilustrasi Kekecewaan Semasa Kecil
Semasa kecil dulu di kampung, anak-anak sebaya saya biasanya cuma bisa menikmati hiburan menonton film di bioskop. Tapi agak lama bagi saya, tak suka film buatan anak negeri sendiri yang selalu melankolis dan cengeng. Saya lebih suka film sejarah atau aksi ala mafia Al Capone atau minimal film Hollywood.
Sebab nonton bioskop itu bukan saja sebagai hiburan, tapi juga gengsi, kalau ada tayangan film yang bagus, kok nggak ikut menonton. Akibatnya, kalau sampai absen, besok akan menjadi tema diskusi saat nongkrong bersama kawan-kawan. Jadi kalau nggak sempat nonton, diri ini rasanya seperti kambing congek. Apalagi klasifikasi film yang hendak ditonton itu tidak ada batasan umur.
Pada suatu ketika, hasrat hendak ikut masuk ke bioskop sudah sangat menggebu-gebu. Karcis pun sudah di pesan, karena ketika itu pun filmnya untuk semua umur, jadi bisa dipastikan akan penuh sesak menjadi kesempatan menonton bagi anak-anak seusia saya.
Tapi entah bagaimana ceritanya, setelah karcis diperoleh, jadi tak bisa ikut menonton. Pendek cerita, kecewa beratlah awak ini, mungkin lebih dari kecewanya seorang Calon Wapres untuk bertarung dalam Pemilu. Meski dalam pertarungan itu sendiri tak tentu bisa menang. Namun kekecewaan seperti membuat rasa malu tak sanggup ditanggung. Walau tak sempat terlintas untuk bunuh diri, seperti anak jaman milenial sekarang ini, ketika ditinggal kekasih.
Pendek kata, cerita soal malu itu seperti saat ikut dalam tim pertandingan olah raga antar kampung. Terlanjur sudah menggunakan kostum kebanggaan tim asli dari kampung sendiri ini, lalu tak juga pernah mendapat kesempatan untuk ikut bermain. Rasa kecewanya mungkin tak separah rekayasa yang sudah bagus untuk ikut Pilpres atau sejenisnya yang urung ikut menjadi peserta. Mestinya, sudah pernah dijagokan jadi pemain utama itu, bolehlah dianggap cukup memperoleh pengalaman spiritual lantaran sudah pernah nyaris menjadi manusia maha penting dalam satu babak sejarah perjalanan bangsa yang besar bagi negeri ini.
Karena itu kiranya perlu nasehat yang bijak, janganlah pernah merasa sedih dan putus asa untuk terus meniti karier dengan baik dan tekun. Sebab di dunia ini tidak pernah ada yang enak rasanya jika diperoleh dengan yang gampang. Sebab kegigihan itu sesungguhnya bagian dari bumbu penyedap, seperti memperoleh duit atas usaha yang baik dan halal. Jika tidak, mana mungkin akan lahir istilah duit hantu dimakan setan.
Seperti duit untuk membeli karcis bioskop yang sia-sia itu tadi, atau tidak dapat ikut menjadi pemain dari sebuah pertandingan, bagus bisa dikoreksi ulang. Jangan-jangan duit yang sudah dihamburkan itu memang tidak halal. Arti tidak halal ini pun bisa dipahami dengan sebutan duit haram, yaitu duit yang tidak jelas asal usulnya. Padahal, asal mulanya toh, kita cuma pedagang es cendol atau cimol.
Jadi kesabaran untuk lebih memperkaya diri, bukan atas dasar karbitan karena sang wasit adalah Pakde kita, hanya akan mengesankan keculasan. Apa salahnya sedikit lebih bersabar agar bisa lebih matang, seperti buah yang ranum pun belum masanya diunduh. Sebab, segala sesuatu yang dipaksakan itu pasti tidak baik, pasti tidak sempurna, persis seperti buah yang matang dikarbit.