Sungguhkah Karena Pemilu Suara Rakyat Tidak Lagi Diyakini Sebagai Suara Tuhan

Ilustrasi Suara Rakyat Suara Tuhan

Beritatrends – Istilah ini begitu populer. Bahkan masyarakat luas pun banyak yang tahu dan mengerti istilah itu dalam bahasa aslinya.

Ya, istilah dalam bahasa Latin vox populi vox dei sudah begitu mendunia. Dalam bahasa Indonesia, kalimat sakti ini memiliki makna ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’. Suara rakyatlah yang akan menentukan hitam dan putihnya panggung politik atau yang menentukan hasil dari kontes politik/pemilu.

Awal mulanya, istilah itu lebih dikenal dalam dunia peradilan. Para pengadil dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Oleh karena itu keputusan para hakim harus mencerminkan keadilan, suatu tindakan yang hanya bisa dimiliki oleh Tuhan.

Agar keputusan hakim mendekati keadilan yang sesungguhnya, maka para pengadil itu harus memahami benar suara rakyat. Paling tidak, keputusan hakim ini harus mendekati kehendak atau suara rakyat banyak. Dalam konteks inilah suara rakyat dianggap sebagai penyampai kehendak Illahi. Pengadil yang membawa aspirasi masyarakat luas dianggap mengusung suara Tuhan.

Dalam perkembangannya, istilah suara ‘rakyat adalah suara Tuhan’ lebih menempel ke panggung politik. Kehendak rakyat mayoritas akan sangat menentukan dalam suatu proses politik atau pemilihan umum. Begitu kuatnya kehendak rakyat itu, maka tak ada kekuatan lain yang secara moral bisa membendungnya.

Untuk alasan itu pulalah maka proses politik yang melibatkan seluruh masyarakat secara langsung dianggap sebagai sesuatu yang ideal. Jika proses atau keputusan politik itu disampaikan lewat perwakilan yang sering kali bersifat transaksional alias dagang sapi, maka itu dianggap tak sesuai dengan kehendak rakyat atau suara Tuhan.

Bagi rakyat kebanyakan, memilih calon Presiden dan Calon Wakil Presiden itu menjadi penting karena menggarap dapat memiliki Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang baik dan benar, jujur dan ikhlas menunaikan amanah rakyat dipimpinnya, serta mau melindungi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Baca Juga  Masyarakat Magetan Harus Melek, Jangan Mau Dibodohi

Karena itu, Presiden Indonesia harus menjaga kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik dan kedaulatan budaya sehingga tidak didikte atau dijajah oleh bangsa asing.

Karena itu, pemilihan Presiden bersama Wakil Presiden patut dilakukan secara jujur dan adil menerima suara rakyat, baik melalui pemilihan suara dalam pelaksanaan Pemilu maupun secara lisan atau tulisan. Sebab tugas pokok Presiden dan Wakil Presiden adalah menjalankan amanah rakyat.

Oleh sebab itu, rakyat akan selalu kritis dan cermat mengikuti tahapan Pemilu, mulai dari proses pendaftaran yang harus mentaati tata aturan dan perundang-undangan yang berlaku, hingga proses sebelum dan setelah pemilihan suara di TPS harus tetap menjunjung tinggi etika dan hak bagi rakyat untuk menentukan pilihan terbaiknya sesuai dengan keyakinannya pada kandidat Capres dan Wapres yang dapat membawa seluruh rakyat bisa lebih baik, lebih sejahtera dan lebih beradab pada hari esok yang lebih menyenangkan dan lebih menggembirakan.

Maka itu, proses pemaksaan dalam pencalonan Presiden dan Calon Wakil Presiden menjadi perhatian serta pertimbangan bagi rakyat. Begitu juga dengan proses seperti acara debat Capres dan debat Cawapres tidak elok bila dipenggal dengan cara menggabung debat Capres dengan sebab Cawapres yang sudah diatur sedemikian baik seperti Pemilu sebelumnya. Sebab debat Capres dan debat Cawapres itu untuk memberi kesempatan kepada rakyat memiliki bahan untuk menakar etikabilitas dan intelektualitas serta kemampuan dan kecakapan sebagai sosok pemimpin Indonesia untuk masa depan yang harus menghadapi berbagai masalah.

Etika Komisi Pemilihan Umum pun semakin patut diragukan netralitasnya seperti Mahkamah Konstitusi yang juga mengubah tara aturan Pemilu yang sudah ada. Seperti pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy’ari yang mengatakan bahwa debat Capres akan dilakukan dengan menghadirkan Capres dan Cawapres dalam lima sesi acara debat, jelas menyimpang dari ketentuan yang telah diatur dalam pasal 277 UU No. 7/ 2017, tentang Pemilu Junto Pasal 50 Per-KPU No.15/2023, rapi juga akan menghilangkan kesempatan bagi publik untuk menilai kualitas Cawapres bukan sekedar aksesoris belaka.

Baca Juga  PCNU Magetan Gelar Konfercab Ke-9

Seperti dikatakan Todung Mulya Lubis, Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Machfud MD, mempertanyakan konsistensi Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari dalam menjalankan perintah UU terkait debat calon Presiden dan calon Wakil Presiden untuk Pemilu 2024.

Jika rencana debat Cawapres tetap digabung dengan debat Capres, semakin nyata banyaknya pelanggaran yang dilakukan, mulai dari Putusan MK yang sungsang, hingga debat Cawapres dan kecenderungan dalam melakukan mobilisasi massa yang juga menggunakan fasilitas serta aparat negara.

Begitulah kesangsian rakyat yang tergantung di langit, setelah dibisikkan kepada Tahun, bahwa “suara rakyat dalam Pemilu di Indonesia tidak lagi dipercaya sebagai suara Tuhan”.

Pos terkait